“Tahun Iman adalah panggilan kepada pertobatan yang autentik dan
diperbaharui kepada Tuhan, Sang Penyelamat Dunia ” – Paus Benediktus XVI
Setiap hari Rabu selama Tahun Iman, Bapa Suci Paus Benediktus XVI selalu
mengadakan audiensi dan memberikan katekese tentang Iman. Lux Veritatis 7 akan
menampilkan beberapa kutipan yang telah diterjemahkan dari teks audiensi beliau
(sumber teks audiensinya ada di website vatikan, klik ini :Benedict XVI Audiences).
Semoga hal tersebut dapat semakin memperkaya dan menguatkan iman kita dalam
Yesus Kristus!
===========================================
Katekese Tahun Iman : Perkenalan
“Melalui wahyunya, Allah sesungguhnya mengkomunikasikan dirinya kepada
kita, menceritakan dirinya dan membuat diri-Nya terjangkau. Dan kita dimampukan
untuk mendengar Sabda-Nya dan menerima kebenaran-Nya. Ini adalah keajaiban iman
: Allah, dalam kasih-Nya, menciptakan didalam kita – melalui tindakan Roh Kudus
– kondisi yang pantas bagi kita untuk mengenali Sabda-Nya. Allah sendiri, dalam
hasrat-Nya untuk menunjukkan diri-Nya, datang berhubungan dengan kita,
menghadirkan diri-Nya didalam sejarah kita, memampukan kita untuk mendengar dan
menerimaDia. St. Paulus mengungkapkan hal ini dengan sukacita dan syukur dalam
kata-kata berikut :”Dan kami juga berterima kasih secara terus menerus kepada
Allah karena hal ini, yaitu ketika kamu menerima Sabda Allah yang kamu dengar
dari kami, kamu menerimanya bukan sebagai perkataan manusia tapi sebagai apa
adanya, yaitu sabda Allah, yang bekerja di dalam engkau orang beriman” (1 Thes
2 : 13)”
“Tapi dimana kami bisa menemukan rumusan iman yang esensial? Dimana kami
bisa menemukan kebenaran-kebenaran yang dengan setia telah diteruskan kepada
kami dan yang menjadi terang bagi kehidupan kami sehari-hari? Jawabannya
sederhana. Dalam syahadat, dalam Pengakuan Iman, kita dihubungkan kembali
dengan peristiwa asali Pribadi dan Sejarah Yesus dari Nazareth; apa yang
dikatakan rasul non yahudi kepada umat Kristen di Korintus terjadi :”Pada
tempat pertama, aku menyampaikan kepadamu apa yang telah kuterima sendiri,
bahwa Kristus wafat bagi dosa-dosa kita seperti yang dikatakan Kitab Suci,
bahwa Ia dikubur, dan Ia dibangkitkan pada hari ketiga sesuai dengan kitab
suci” (1 Kor 15 : 3-5)”
“Sekarang juga syahadat perlu diketahui dengan lebih baik, dipahami dan
didoakan. Penting sekali bahwa syahadat harus “dikenali”. Memang, mengetahui
merupakan semata-mata kerja intelek, sementara “mengenali” berarti perlunya
menemukan ikatan yang mendalam diantara kebenaran yang kita akui dalam Syahadat
dan keberadaan sehari-hari, agar kebenaran-kebenaran ini dapat sungguh dan
menjadi … terang bagi langkah-langkah kita melalui kehidupan, air yang
mengairi kekeringan yang membentang di jalan kita, kehidupan yang menjadi lebih
baik dari area-area kehidupan yang kering sekarang ini.”
“Orang Kristen sering tidak mengetahui inti iman katolik mereka,
Syahadat, karenanya mereka memberikan ruang bagi sinkretisme dan relativisme
religius tertentu, mengaburkan kebenaran untuk beriman juga keunikan
keselamatan Kekristenan. Resiko membuat-buat agama “lakukan bagi dirimu
sendiri” tidak begitu jauh sekarang ini. Kita harus kembali kepada Allah,
kepada Allah Yesus Kristus, kita harus menemukan kembali pesan injil dan
menjadikannya suara hati dan kehidupan sehari-hari kita lebih mendalam.”
===========================================
Katekese Tahun Iman : Apakah Iman itu?
“Kita tidak hanya memerlukan roti, kita memerlukan cinta, makna dan
harapan, fondasi yang kokoh, tanah yang kuat yang membantu kita menghidupi
dengan makna autentik bahkan di masa-masa krisis, dalam kegelapan, dalam
kesulitan, dan dalam masalah sehari-hari. Iman memberikan kita hal ini : iman
adalah penyerahan yang yakin kepada “Engkau”, yang adalah Allah, yang
memberikan aku kepastian yang berbeda, tapi tidak kurang kokoh daripada sesuatu
yang berasal dari kalkulasi atau ilmu pengetahuan. Iman bukan semata-mata
persetujuan intelektual tentang Allah, iman adalah tindakan yang dengannya aku
mempercayakan diriku dengan bebas kepada Allah yang adalah bapa dan yang
mencintai aku; iman adalah ketaatan kepada “Engkau” yang memberikanku harapan
dan kepercayaan.”
“Iman berarti percaya dalam cinta Allah yang tidak pernah berkurang
dalam menghadapi kejahatan manusia, dalam menghadapi keburukan dan kematian,
tapi iman sanggup mengubah setiap jenis perbudakan, memberikan kita kemungkinan
keselamatan. Memiliki iman, berarti bertemu dengan “Engkau” yang ini, Allah,
yang mendukung dan memberikan aku janji akan kasih yang tak terhancurkan yang
tidak hanya mengaspirasi kepada kekekalan tapi memberikannya; beriman berarti
mempercayakan diriku kepada Allah dengan sikap seorang anak, yang tahu dengan
baik segala kesulitannya, semua permasalahannya dipahami dalam ke-Engkau-an
dari ibunya.”
“Percaya dalam tindakan Roh Kudus harus selalu mendorong kita untuk
pergi dan mewartakan Injil, menjadi saksi iman yang berani; tapi, selain dari
kemungkinan adanya tanggapan positif terhadap karunia iman, juga ada
kemungkinan penolakan terhadap Injil, kemungkinan untuk tidak menerima
pertemuan penting dengan Kristus. St. Augustinus sudah menyatakan masalah ini
dalam salah satu komentarnya terhadap perumpamaan Penabur. “Kita berbicara”, ia
berkata, “kita menebar benih, kita menaburkan benih. Ada orang yang mengejek
kita, mereka yang mengolok-olok kita, mereka yang mencemoohkan kita. Bila kita
takut pada mereka kita tidak memiliki apapun untuk ditabur dan pada hari panen
kita tidak akan menuai hasil panen. Karenanya semoga benih didalam tanah yang
baik dapat bertumbuh” (Discourse
on Christian Discipline, 13,14: PL 40, 677-678). Penolakan,
karenanya tidak dapat melemahkan kita. Sebagai orang Kristen, kita adalah bukti
dari tanah yang subur ini. Iman kita, bahkan dengan kelemahan-kelemahan kita,
menunjukkan bahwa ada tanah yang baik, dimana benih Sabda Allah menghasilkan
buah keadilan, kedamaian, cinta, kemanusiaan dan keselamatan yang melimpah. Dan
seluruh sejarah Gereja, dengan semua persoalannya, juga menunjukkan bahwa ada
tanah yang baik, bahwa ada benih yang baik dan benih tersebut menghasilkan
buah.”
“Percaya berarti mempercayakan diri sendiri dalam kebebasan yang penuh
dan dengan suka cita kepada rencana penyelenggaraan Allah bagi sejarah, seperti
Bapa Abraham, seperti Maria dari Nazareth. Iman, karenanya, adalah persetujuan
yang dengan pikiran dan hati kita mengucapkan “Ya” mereka kepada Allah,
mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan. Dan “Ya” ini mengubah kehidupan,
menyingkapkan jalan kepada kepenuhan makna, dan menjadikannya baru, kaya dalam
sukacita dan pengharapan yang dapat dipercaya. “
===========================================
Katekese Tahun Iman : Iman Personal dan Iman Gereja
“Apakah iman hanya memiliki hakekat yang personal atau individual?
Apakah iman hanya mempedulikan diriku sendiri? Apakah aku menghidupi imanku
saja? Tentu, tindakan iman adalah tindakan yang sangat personal; ia terjadi di
bagian paling dalam dari diri kita dan menandakan perubahan melalui pertobatan
personal. Hidupku lah yang berubah, yang diberikan arah yang baru. Dalam ritus
baptisan, pada saat pengucapan janji baptis, selebran bertanya demi sebuah
pengakuan iman katolik dan merumuskan tiga pertanyaan : Apakah kamu percaya
pada Allah Bapa yang Maha kuasa? Apakah kamu percaya pada Yesus Kristus Putra
Tunggal-Nya? Apakah kamu percaya pada Roh Kudus? Pada masa kuno tiga pertanyaan
ini ditujukan kepada orang yang akan menerima baptisan sebelum dicelupkan tiga
kali ke dalam air. Dan sekarang, jawabannya tetap satu dan sama : “Aku
percaya”. Tapi iman milikku ini bukan hasil dari refleksiku sendiri, iman
milikku ini bukan hasil dari pemikiranku, melainkan adalah buah sebuah
hubungan, sebuah dialog, dimana ada pendengar, penerima dan orang yang
memberikan jawaban, iman milikku ini adalah komunikasi bersama Yesus yang
menarikku keluar dari “Aku”yang mengisi didalam diriku untuk terbuka pada kasih
Allah, Bapa.”
“Aku tidak bisa membangun iman pribadiku dalam dialog pribadi bersama
Yesus, karena iman diberikan kepadaku oleh Allah melalui komunitas umat beriman
yang adalah Gereja dan melemparkan aku ke dalam sekumpulan orang beriman, ke
dalam sebuah persekutuan yang tidak hanya bersifat sosiologis tapi juga berakar
dalam kasih Allah yang kekal yang ada dalam diri-Nya persekutuan Bapa, Putra
dan Roh Kudus, yang adalah Kasih Trinitarian. Iman kita sungguh personal, hanya
bila ia juga komunal : ia bisa menjadi imanku saja bila ia berdiam didalamnya
dan bergerak bersama “Kami” nya Gereja, hanya ini adalah iman kita, iman
bersama dari Satu Gereja.”
““Tidak seorangpun memiliki Allah sebagai Bapa-Nya, bila ia tidak
memiliki Gereja sebagai Ibu-Nya” (St. Cyprian) (no 181). Karenanya, iman lahir
didalam Gereja, menuntun kepada Gereja dan hidup di dalamnya. Ini penting untuk
diingat.”
“Gereja, karenanya, sejak awal mula adalah tempat bagi iman, tempat bagi
penyampaian iman, tempat dimana, melalui baptisan, kita dicelupkan ke dalam
Misteri Paskah Kematian dan Kebangkitan Kristus, yang membebaskan ktia dari
perbudakan dosa, memberi kita kebebasan sebagai anak dan memperkenalkan kita
kepada persekutuan dengan Allah Tritungal. Pada saat yang sama, kita dicelupkan
juga ke dalam persekutuan berasam saudara saudari dalam iman, bersama seluruh
Tubuh Kristus, dibawa keluar dari isolasi kita.”
“Ada rantai yang tak terputus dalam kehidupan gereja, dalam proklamasi
Sabda Allah, dari perayaan Sakramen-sakramen, yang telah turun kepada kita dan
yang kita sebut Tradisi. Tradisi memberikan kita jaminan bahwa apa yang kita
percaya adalah pesan asli Kristus, yang dikotbahkan oleh Para Rasul.”
“Seorang Kristen yang membiarkan dirinya dibimbing dan dibentuk
secara bertahap oleh iman Gereja, walaupun ia memiliki kelemahan, keterbatasan,
dan kesulitannya, ia menjadi seperti jendela yang terbuka kepada terang Allah
yang hidup, menerima terang ini dan menyebarkannya kepada dunia”
===========================================
Katekese Tahun Iman : Kerinduan akan Allah
Perjalanan refleksi yang kita lakukan bersama pada tahun iman ini
membawa kita untuk meditasi terhadap aspek yang mengagumkan dari pengalaman
manusia dan pengalaman Kristiani : Manusia membawa didalam dirinya kerinduan
yang misterius akan Allah…Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia
karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak
henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya. Hanya dalam Allah manusia dapat
menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang dicarinya terus-menerus (KGK No 27)
Hasrat atau kerinduan manusia selalu cenderung bergerak ke arah harta
yang berwujud, yang seringkali jauh dari hal yang rohani, dan karenanya masih
dihadapkan pada pertanyaan apa yang sungguh baik, dan sebagai akibat dari
konfrontasi dirinya sendiri dengan sesuatu yang lain dari dirinya, sesuatu yang
tidak bisa diciptakan manusia, tetapi manusia dipanggil kepadanya untuk
mengenalinya. Apa yang sungguh dapat memuaskan hasrat manusia?
Bila apa yang aku alami bukan ilusi semata, bila aku sungguh
menginginkan kebaikan orang lain sebagai jalan menuju kebaikanku, maka aku
harus rela mendesentralisasi diriku, menempatkan diriku demi pelayanan orang
lain sampai pada titik penyerahan diriku.
Manusia, mengetahui apa yang tidak dapat memuaskan [hasratnya], tapi
tidak bisa membayangkan atau mendefinisikan sesuatu yang membuat ia mengalami
kebahagiaan yang dirindukan oleh hatinya. Seseorang tidak bisa mengetahui
Allah, mulai secara sederhana dengan kerinduan manusia.
Dari sudut pandang ini misteri tetap ada : manusia mencari yang Absolut,
dalam langkah yang kecil dan tidak pasti. Dan pengalaman akan kerinduan, “hati
yang gelisah”, seperti yang dikatakan St. Augustinus, sangatlah penting. Ini
membuktikan bahwa manusia, jauh di lubuh hatinya, adalah makhluk yang religius
(cf. Catechism of the Catholic Church, 28), pengemis dihadapan Allah…Mata mengenali
objek ketika objek tersebut diterangi oleh terang. Karenanya hasrat untuk
mengenal terang itu sendiri, yang membuat hal-hal duniawi bersinar dan
karenanya menerangi kesadaran akan keindahan.
Kita tidak seharusnya melupakan dinamisme hasrat yang selalu terbuka
kepada penebusan. Bahkan ketika hasrat [atau kerinduan] mengambil jalan yang
salah, mengejar surga yang dangkal dan tampak kehilangan kemampuan untuk
merindukan kebaikan yang sejati. Bahkan di dalam lembah dosa percikan api
[kerinduan] tersebut masih hidup di dalam hati manusia yang memampukan manusia
untuk mengenali kebaikan yang sejati, untuk merasakannya, dan memulai
kembali pendakian ke atas, dimana Allah, dengan karunia rahmat-Nya, tidak
pernah gagal menolong manusia.
Semua orang perlu menginjak jalan pemurnian dan penyembuhan hasrat. Kita
adalah peziarah di jalan menuju kampung halaman surgawi, menuju kepada
kepenuhan, kebaikan yang kekal, yang tidak ada apapun yang dapat mengambilnya
dari kita. Ini bukan persoalan tentang menyesakkan hasrat yang ada dalam hati
manusia, tapi ini adalah tentang membebaskannya, agar ia dapat mencapai
ketinggiannya yang sebenarnya. Ketika hasrat terbuka bagi Allah, ini sudah
merupakan tanda kehadiran iman di dalam jiwa, iman yang adalah rahmat Allah
===========================================
Katekese Tahun Iman : Jalan-jalan Menuju Pengetahuan akan Allah
Bahwa Inisiatif Allah selalu mendahului tiap tindakan manusia, bahkan
dalam perjalanan menuju kepada-Nya, adalah Ia yang pertama kali menerangi kita,
membimbing dan menuntun kita, selalu menghargai kebebasan kita. Dan Ia selalu
mengijinkan kita masuk ke dalam keintiman-Nya, menyatakan dan menghadiahi
dirinya bagi kita rahmat untuk sanggup menyambut pewahyuan dalam iman. Jangan
pernah melupakan pengalaman St. Augustinus : bukan kita yang mencari atau
memiliki kebenaran, tapi Kebenaran lah yang mencari dan memiliki kita.
Kesulitan dan pencobaan masa sekarang tidaklah kurang bagi iman,yang
seringkali dipahami secara dangkal, ditantang, atau ditolak. “Selalu siap
sedialah untuk menanggapi, tapi dengan kelembutan dan rasa hormat, kepada
siapapun yang menanyakan harapan yang ada di dalam hatimu” (1 Pet 3 : 15). Di
masa lalu, di Barat, dalam masyarakat yang dianggap Kristen, iman adalah
lingkungan dimana kita bergerak, petunjuk dan kepatuhan kepada Allah, bagi
sebagian besar orang merupakan bagian kehidupan sehari-hari. Mereka yang tidak
percaya lah yang harus membenarkan ketidakpercayaan mereka. Di dunia kita,
situasi telah berubah, dan secara meningkat, orang percaya harus sanggup
memberikan alasan bagi imannya.
Pada waktu kita sekarang terdapat fenomena yang berbahaya bagi iman; ada
fakta sebuah bentuk ateisme yang kita definisikan sebagai “praktis” yang tidak
menolak kebenaran-kebenaran iman atau ibadah-ibadah religius tetapi dengan
mudah menganggap itu semua tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, terlepas
dari hidup, tidak berguna. Seringkali, kemudian, orang-orang percaya kepada
Allah dengan cara yang mudah, tetapi hidup “seolah-olah Allah tidak ada” (etsi
Deus non daretur). Pada akhirnya, cara hidup seperti ini lebih menghancurkan
karena membawa kepada sikap acuh tak acuh terhadap iman dan pertanyaan mengenai
Allah.
Jawaban apa yang harus iman berikan dengan lemah “lembut dan rasa
hormat” kepada ateisme, skeptisisme, dan keacuhan terhadap dimensi vertikal,
agar manusia jaman sekarang dapat terus menanyakan tentang eksistensi Allah dan
berjalan sepanjang jalan yang menuntun kepada-Nya? Aku akan menyebutkan
beberapa jalan, yang dihasilkan dari refleksi alamiah dan kekuatan iman. Aku
akan dengan singkat merangkumnya dalam tiga kata : dunia, manusia, dan iman.
Pertama : Dunia. St Augustinus, yang dalam hidupnya begitu lama mencari
Kebenaran dan ditangkap oleh Kebenaran, memiliki halaman yang indah dan
terkenal, dimana ia menegaskan : “Tanyalah akan keindahan bumi, tanyalah akan
keindahan laut…tanyakan keindahan langit…tanyakan semua realita ini. Semua
menjawab : Lihat, kami begitu indah” Keindahan mereka adalah sebuah pengakuan.
Keindahan mereka tunduk pada perubahan. Siapa yang menciptakan mereka jika
bukan Ia yang Indah yang tidak tunduk pada perubahan?” “(Sermo 241, 2: PL 38,
1134). Aku pikir kita perlu memulihkan dan mengembalikan kemampuan untuk
mengkontemplasikan ciptaan, keindahannya, strukturnya. Dunia bukanlah magma tak
berbentuk, tapi semakin kita mengetahuinya, semakin kita menemukan mekanisme
yang luar biasa, semakin kita melihat sebuah pola, kita melihat bahwa terdapat
inteligensi kreatif.
Kata kedua : Manusia. Lagi St Augustinus memiliki kutipan yang terkenal
yang mengatakan bahwa Allah lebih dekat kepadaku daripada aku kepada diriku
sendiri (cf. Confessions, III, 6, 11). Dari sini ia merumuskan sebuah undangan
: “Jangan pergi keluar dari dirimu, kembalilah kedalam dirimu : kebenaran
berdiam di hati manusia” (True Religion, 39, 72). Ini merupakan aspek lain yang
beresiko untuk hilang di dalam dunia yang berisik dan membingungkan dimana kita
tinggal : Kemampuan untuk berhenti dan mengambil pandangan mendalam ke dalam
diri kita dan membaca bahwa rasa haus bagi yang tak terbatas yang kita bawa
didalam diri kita, mendorong kita untuk pergi lebih jauh dan menuju Seseorang
yang dapat memuaskan rasa haus tersebut.
Kata ketiga : Iman. Khususnya dalam realita masa sekarang, kita tidak
boleh lupa bahwa sebuah jalan kepada pengetahuan dan pertemuan dengan Allah
adalah kehidupan iman. Ia yang percaya disatukan dengan Allah, terbuka bagi
rahmat-Nya, terbuka pada kekuatan kasih. Jadi keberadannya menjadi saksi bukan
demi dirinya sendiri, tapi demi Kristus yang bangkit, dan imannya tidak takut
menunjukkan dirinya dalam kehidupan sehari-hari, imannya terbuka kepada dialog
yang mengungkapkan persahabatan mendalam untuk perjalanan setiap manusia, dan
mengetahui bagaimana membawa terang harapan kepada kebutuhan akan penebusan,
kebahagiaan dan masa depan. Iman, faktanya, adalah pertemuan dengan Allah yang
berbicara dan bertindak dalam sejarah dan yang mengubah kehidupan sehari-hari
kita, mengubah mentalitas kita, sistem nilai, pilihan dan tindakan. Iman bukan
ilusi, pelarian diri, perlindungan yang nyaman, sentimentalitas, tapi
keterlibatan dalam setiap aspek kehidupan dan proklamasi Injil, Kabar Baik yang
dapat membebaskan semua manusia.
===========================================
Katekese Tahun Iman : Rasionalitas Iman dalam Allah
Iman diungkapkan dalam hadiah diri bagi orang lain, dalam persaudaraan
yang menciptakan solidaritas, kemampuan untuk mencintai, mengatasi kesendirian
yang membawa kesedihan..cinta kepada Allah, terlebih, membuat kita melihat,
membuka mata kita, memampukan kita mengetahui seluruh realitas, yang
menambahkan kepada pandangan sempit terhadap individualisme dan subjektivisme
yang membingungkan suara hati.
Tradisi katolik, menolak apa yang disebut “fideisme”, yang merupakan hasrat
untuk percaya yang melawan akal budi. Credo
quia absurdum (Saya percaya
karena hal itu absurd) bukanlah rumusan yang menafsirkan iman katolik. Allah
tidaklah absurd, Ia adalah sebuah misteri. Misteri, pada gilirannya, tidaklah
irasional tapi merupakan keberlimpahan indra, makna, dan kebenaran. Bila
melihat kepada misteri, nalar melihat kegelapan, bukan karena tidak ada terang
dalam misteri, tapi karena terlalu banyak terang di dalamnya.
St. Augustinus, sebelum pertobatannya mencari kebenaran dengan
kegelisahan yang besar melalui semua filosofi yang ia miliki, dan menemukan
bahwa semuanya tidak dapat memuaskannya. Tuntutannya, pencarian yang rasional,
adalah pedagogi bermakna baginya untuk bertemu dengan kebenaran Kristus. Ketika
ia berkata :”Aku percaya supaya aku mengerti ,dan aku mengerti agar aku percaya
lebih baik” (Discourse 43,
9: PL 38, 258),seolah-olah ia sedang menceritakan kembali pengalaman
hidupnya. Intelek dan iman tidaklah asing atau berlawanan terhadap Wahyu ilahi
melainkan keduanya adalah syarat bagi pemahaman maknanya, bagi penerimaan pesan
autentiknya, bagi pendekatan terhadap ambang batas misteri. St. Augustinus,
bersama dengan pengarang Kristen lainnya, adalah saksi iman yang dipraktekkan
dengan nalar, yang berpikir dan mengundang pikiran.
Iman katolik karenanya rasional dan mendorong kepercayaan dalam akal
budi manusia. Konsili Vatikan Pertama, dalam Konstitusi Dogmatik Dei Filius,berkata bahwa nalar
mampu mengetahui dengan kepastian, bahwa Allah itu ada melalui ciptaan, dimana
kemungkinan untuk mengetahui “dengan mudah, dengan kepastian utuh dan tanpa
kesalahan” (DS 3005) kebenaran-kebenaran yang berkaitan dengan Allah dalam
terang rahmat, yang merupakan milik iman saja.
St. Petrus juga mendorong orang Kristen diaspora untuk menyembah :”di
dalam hatimu hormatilah Kristus sebagai Tuhan. Siap sedialah untuk
mempertanggungjawabkan kepada siapapun mereka yang meminta penjelasan bagi
pengharapan yang ada didalam kamu (1 Pet 3 : 15)”. Dalam atmosfer penyiksaan
dan dengan kebutuhan yang menekan untuk menjadi saksi iman, kita umat beriman
diminta untuk membenarkan dengan nalar yang memilki dasar, kesetiaan kita
kepada perkataan Injil, untuk menjelaskan alasan bagi pengharapan kita.
Kareananya iman yang sungguh dihidupi, tidak berasal dari konflik dengan
ilmu pengetahuan, tapi bekerja sama dengannya … Untuk alasan ini juga,
merupakan hal yang rasional untuk percaya : bila ilmu pengetahuan merupakan
sebuah teman iman yang berharga untuk memahami rencana Allah bagi alam semesta,
iman, tetap setia pada rencana ini, mengijinkan ilmu pengetahuan berkembang
selalu untuk mencapai kebaikan dan kebenaran manusia.
===========================================
Katekese Tahun Iman : Bagaimana Berbicara tentang Allah
Bagaimana kita bsia berbicara tentang Allah sekarang? Jawaban pertamanya
adalah kita bisa berbicara tentang Allah karena Ia telah berbicara pada kita;
jadi syarat pertama untuk berbicara tentang Allah adalah mendengarkan semua
yang Allah sendiri telah katakan. Allah telah berbicara pada kita! Allah
karenanya bukanlah hipotesis yang jauh mengenai asal usul dunia; ia bukan
intelegensi matematis yang jauh dari kita. Allah peduli pada kita, Ia mencintai
kita, Ia telah masuk secara personal kedalam realita sejarah kita, ia telah
mengkomunikasikan diri-Nya, bahkan sampai menjadi manusia. Karenanya Allah
adalah realita kehidupan kita, Ia begitu agung sehingga Ia memiliki waktu bagi
kita juga, Ia peduli pada kita. Dalam Yesus dari Nazareth kita menemui wajah
Allah, yang turun dari surga untuk menceburkan diri-Nya ke dunia manusia, di
dunia kita, dan untuk mengejar “seni kehidupan”, jalan menuju kebahagiaan;
untuk membebaskan kita dari dosa dan menjadikan kita anak-anak Allah (Efes 1:5;
Roma 8:14). Yesus datang untuk menyelamatkan kita dan menunjukkan kepada kita
kehidupan Injil yang baik.
Berbicara tentang Allah pertama-tama mengungkapkan dengan jelas Allah
seperti apa yang harus kita bawa kepada pria dan wanita jaman sekarang : bukan Allah
yang abstrak, sebuah hipotesis, tapi Allah yang nyata, Allah yang ada, yang
telah masuk kedalam sejarah dan hadir dalam sejarah : Allah Yesus Kristus
sebagai jawaban bagi pertanyaan mendasar tentang makna kehidupan dan bagaimana
kita seharusnya hidup. Konsekuensinya, berbicara tentang Allah menuntut
familiaritas dengan Yesus dan Injil-Nya, ini mengimplikasikan bahwa kita
memiliki pengetahuan tentang Allah yang nyata dan personal, dan hasrat yang
kuat bagi rencana keselamatan-Nya tanpa tunduk kepada godaan keberhasilan, tapi
mengikuti cara Allah. Cara Allah adalah kerendahan hati – Allah menjadikan
dirinya sama seperti kita – caranya dibawa melalui Inkarnasi di rumah Nazareth
yang sederhana; melalui Gua Bethlehem; melalui perumpaan Biji Sesawi.
Ketika berbicara tentang Allah, dalam karya evangelisasi, dibawah
bimbingan Roh Kudus, kita harus menemukan kesederhanaan, kita harus kembali
kepada esensi proklamasi : Kabar Baik tentang Allah yang nyata dan efektif,
Allah yang peduli tentang kita, Allah-Cinta yang menjadikan diri-Nya dekat
dengan kita dalam Yesus Kristus, sampai di Salib, dan yang dalam
Kebangkitan-Nya memberi kita harapan dan membukakan kita kepada kehidupan yang
tak berujung, kehidupan kekal, kehidupan sejati.
St. Paulus..memberi kita pelajaran yang langsung menuju pada inti
permasalahan iman :”bagaimana berbicara tentang Allah” dengan kesederhanaan
yang besar.
Dalam Surat Pertama kepada Umat di Korintus ia menulis :”Ketika Aku
datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang untuk memproklamasikan
kepadamu kesaksian tentang Allah dalam kebijaksanaan atau kata-kata yang mulia.
Karena aku memutuskan untuk tidak mengetahui apapun diantara kamu kecuali Yesus
Kristus dan Ia yang disalibkan” (2:1-2)
Ia berbicara tentang Allah yang masuk dalam kehidupannya, ia berbicara
tentang Allah yang nyata yang hidup, yang berbicara dengannya dan akan
berbicaradengan kita, ia berbicara tentang Kristus yang disalibkan dan bangkit.
St. Paulus memproklamasikan Kristus dan ingin mengumpulkan orang-orang
untuk Allah yang benar dan nyata. Keinginan Paulus adalah berbicara dan
mengkotbahkan Ia yang masuk dalam kehidupannya dan yang merupakan kehidupan
sejati, yang memenangkannya di jalan menuju Damaskus. Karenanya, berbicara
tentang Allah berbarti membuka ruang bagi Ia yang memampukan kita
mengetahuinya, yang menyatakan wajah kasih-Nya pada kita; artinya mengosongkan
diri kita dari ego kita, mempersembahkannya kepada Kristus, dalam kesadaran
bahwa bukan kita yang memenangkan orang lain demi Allah, tapi bahwa kita harus
mengharapkan Allah untuk mengirim mereka, kita harus memohon kepada Allah bagi
mereka. Berbicara tentang Allah karenanya berasal dari mendengarkan, dari
pengetahuan kita tentang Allah yang dibawa melalui familiaritas dengan-Nya,
melalui kehidupan doa dan dalam kesesuaian dengan 10 Perintah Allah.
Menyampaikan iman, bagi St. Paulus, tidak berarti menempatkan dirinya di
depan, tapi berkata secara umum dan terbuka tentang apa yang telah ia lihat dan
dengar dalam pertemuannya dengan Kristus, apa yang telah ia alami dalam
hidupnya yang diubah melalui pertemuan itu : artinya menempatkan Yesus didepan,
yang ia rasakan kehadiran-Nya di dalam ia dan yang menjadi orientasi
keberadaannya yang sebenarnya, untuk memperjelas bagi semua orang bahwa Yesus
diperlukan bagi dunia dan penting bagi kebebasan setiap orang.
Untuk berbicara tentang Allah, kita harus meninggalkan ruang bagi-Nya,
percaya bahwa Ia akan bertindak dalam kelemahan kita : kita harus membuat ruang
bagi-Nya tanpa rasa takut tapi dengan kesederhanaan dan sukacita, dalam
keyakinan mendalam bahwa semakin kita menempatkan Ia di pusat dan bukan diri
kita, semakin berbuah komunikasi kita. Dan ini jua benar bagi komunitas Kristen
: mereka dipanggil untuk menunjukkan tindakan rahmat Allah yang mengubah,
dengan mengatasi individualisme, kedekatan, keegoisan, keacuhan, dengan
menghidupi kasih Allah dalam relasi sehari-hari mereka. Mari kita bertanya
apakah komunitas kita sungguh seperti ini. Untuk menjadi seperti ini, kita
harus, selalu dan sungguh memproklamasikan Kristus dan bukan diri kita.
Yesus bertindak dan mengajar, selalu mulai dari hubungan yang dekat
dengan Bapa. Gaya ini menjadi petunjuk yang hakiki bagi kita sebagai orang
Kristen : cara hidup kita dalam iman dan kasih menjadi cara untuk berbicara
tentang Allah sekarang, karena hal ini menunjukkan, melalui kehidupan yang
dijalani dalam Kristus, kredibilitas dan realisme terhadap apa yang kita
katakan dengan kata-kata, yang bukan sekedar kata tapi dinyatakan dalam realita,
realita yang sebenarnya. Dan dalam hal ini kita harus peduli untuk memahami
tanda-tanda zaman…untuk mengidentifikasi potensi, aspirasi, dan tantangan yang
kita temui dalam budaya jaman sekarang dan khususnya dalam keinginan bagi
autentisitas, kerinduan terhadap yang transendens, dan kepedulian untuk menjaga
Ciptaan dengan mengkomunikasikan tanpa rasa takut tanggapan yang iman
persembahkan dalam Allah.
Berbicara tentang Allah artinya mengkomunikasikan apa yang
esensial…melalui kata-kata dan kehidupan kita : Allah Yesus Kristus, Allah yang
menunjukkan kita cinta yang begitu besar hingga ia menjadi manusia, wafat dan
bangkit lagi demi kita : Allah yang meminta kita mengikuti-Nya dan membiarkan
diri kita diubah oleh cinta yang mendalam untuk memperbaharui hidup dan
hubungan kita; Allah yang memberi Gereja pada kita, agar kita dapat berjalan
bersama dan melalui sabda dan sakramen, memperbaharui seluruh kota pria dan
wanita, sehingga menjadi Kota Allah.
===========================================
Katekese Tahun Iman : Allah Mewahyukan Rencana Kasih-Nya
Di awal surat kepada Umat di Efesus (Ef 1 : 3-14), Rasul Paulus
mengangkat sebuah doa pujian kepada Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang
menuntun kita pada pengalaman masa Advent, dalam konteks tahun iman. Tema himne
pujian ini adalah rencana Allah bagi manusia, yang digambarkan dengan penuh
suka cita, kekaguman dan syukur, menurut “tujuannya yang penuh kebaikan”,
tentang belas kasih dan cinta.
Mengapa Rasul Paulus mengangkat pujian kepada Allah ini dari kedalaman
hatinya? Ini karena ia melihat tindakan Allah dalam perspektif keselamatan yang
memuncak pada inkarnasi, wafat, dan Kebangkitan Yesus, dan
mengkontemplasikannya betapa Bapa surgawi memilih kita bahkan sebelum
penciptaan dunia, untuk menjadi putra angkat-Nya, dalam Putra tunggal-Nya Yesus
Kristus (Roma 8 : 14f; Gal 4:4f). Kita telah selalu ada dalam pikiran Allah
dalam rencana besar yang Allah cintai didalam Ia dan memutuskan untuk
melaksankannya dan menyatakan dalam “kepenuhan waktu” (Ef 1:10). St. Paulus
membuat kita mengerti, karenanya, betapa seluruh ciptaan, secara khusus, pria
dan wanita, bukanlah akibat dari sebuah kebetulan tapi merupakan bagian dari
tujuan akal budi Allah yang penuh kebaikan yang membawa dunia menjadi ada
dengan kuasa sabda-Nya yang kreatif dan menebus. Penegasan pertama ini
mengingatkan kita bahwa panggilan kita bukan semata-mata untuk ada di dunia
ini, untuk dimasukkan ke dalam sejarah, juga bukan hanya untuk menjadi ciptaan
Allah. [Panggilan kita]adalah sesuatu yang lebih : dipilih oleh Allah, bahkan
sebelum penciptaan dunia, di dalam Putra, Yesus Kristus. Karenanya di dalam ia
kita ada, selamanya. Allah mengkontemplasikan kita di dalam Kristus, sebagai
putra angkat-Nya. “Tujuan” Allah yang digambarkan Para Rasul juga sebagai
rencana “kasih” (Ef 1:5) digambarkan sebagai “misteri” kehendak ilahi-Nya (ayat
9), yang tersembunyi dan sekarang dinyatakan dalam Pribadi Kristus dan dalam
karya-Nya. Inisiatif ilahi ada sebelum tanggapan manusia : inisiatif ilahi ini
adalah hadiah kasih-Nya yang diberikan secara bebas, yang menaungi dan mengubah
kita.
Tapi apa tujuan tertinggi dari rancangan misterius ini? Apa esensi dari
kehendak Allah? Jawabannya, St. Paulus memberi tahu kita, “untuk menyatukan
segala hal di dalam Ia [Krisus], Sang Kepala” (ayat 10). Dalam kata-kata ini
kita menemukan rumusan sentral Perjanjian Baru yang membuat kita memahami
rencana Allah, rancangan kasih-Nya bagi seluruh kemanusiaan, rumusan yang, pada
abad kedua, St. Ireneus dari Lyon ditetapkan sebagai inti Kristologinya : untuk
“merekapitulasi” seluruh realita dalam Kristus. Mungkin beberapa diantara kamu
mengingat rumusan yang digunakan Paus Pius X untuk konsekrasi dunia kepada Hati
Kudus Yesus : “Instaurare omnia in Christo”, sebuah rumusan yang mengacu pada
ungkapan Paulus dan juga merupakan motto Paus Kudus ini. Bagaimanapun, Rasul
Paulus berbicara lebih tepat tentang rekapitulasi alam semesta didalam
Kristus. Artinya bahwa dalam rencana besar penciptaan dan sejarah, Kristus
berdiri sebagai pusat seluruh perjalanan dunia, sebagai dukungan struktural
dari semua hal, dan menarik kepada diri-Nya seluruh realita utnuk mengatasi
perpecahan dan batasan dan menuntun segala hal kepada kepenuhan yang diinginkan
Allah (Ef 1:23)
“Tujuan yang baik” ini tidak, dibiarkan dalam keheningan Allah, dalam
ketinggian surgawi. Melainkan Allah membuatnya diketahui dengan masuk ke dalam
hubungan dengan manusia yang kepadanya ia tidak hanya mewahyukan sesuatu, tapi
mewahyukan diri-Nya. Ia tidak hanya mengkomunikasikan sinar kebenaran, tapi
mengkomunikasikan diri-Nya pada kita, bahkan sampai menjadi satu dari kita,
menjadi manusia.
“Ini menyenangkan Allah, dalam kebaikan dan kebijaksanaan, untuk
mewahyukan diri-Nya [bukan hanya sesuatu dari diri-Nya tapi diri-Nya] dan untuk
membuat misteri kehendak-Nya dikenal. Kehendaknya adalah bahwa manusia harus
memiliki pintu masuk kepada Bapa, melalui Kristus, Sabda yang menjadi manusia,
dalam Roh Kudus, dan karenanya menjadi pembagi dalam kodrat ilahi” (n.2)…Dengan
inteligensi dan kemampuannya saja manusia tidak akan sanggup mencapai pewahyuan
yang paling mencerahkan akan kasih Allah; adalah Allah yang telah membuka
surga-Nya dan merendahkan diri-Nya untuk membimbing pria dan wanita dalam
kasih-Nya yang tak terlukiskan.
Mengacu pada Allah yang mewahyukan diri-Nya dan berbicara pada kita
melalui Kitab Suci untuk menuntun kita pada-Nya, St. Bonaventura dari
Bagnoregio berkata :”Kitab Suci…perkataannya adalah perkataan kehidupan kekal,
dan ditulis tidak hanya agar kita harus percaya, tapis ecara khusus agar kita
memiliki kehidupan kekal yang didalamnya kita bisa melihat, dan mencintai, dan
memenuhi semua hasrat kita” ”(Breviloquium, Prologue; Opera
Omnia V, 201f.). Beato Yohanes Paulus II mengingat bahwa “Pewahyuan
telah memulai dalam sejarah sebuah titik acuan yang tidak bisa diabaikan bila
misteri kehidupan manusia harus diketahui. Namun pengetahuan ini merujuk
kembali secara terus menerus kepada misteri Allah yang tidak bisa
dihabiskan oleh pikiran manusia, tapi hanya bisa menerima dan memeluknya dalam
iman”(Ensiklik Fides et Ratio, no 14)
Karenanya, dalam perspektif ini, apa artinya tindakan iman? Artinya
adalah jawaban manusia kepada Wahyu Allah yang diketahui dan mengungkapkan
rencana kasih-Nya, menggunakan ungkapan Augustinus, artinya membiarkan diri
digenggam oleh Kebenaran yang adalah Allah, Kebenaran yang adalah Cinta. St.
Paulus menekankan bahwa karena Allah telah mewahyukan misteri-Nya kita
memberikan ia “ketaatan iman” (Roma 16:26; 1:5; 2 Kor 10:5-6), yang dengan
sikap “manusia dengan bebas mempercayakan seluruh dirinya kepada Allah, membuat
‘ketaatan kehendak dan intelek secara penuh kepada Allah yang mewahyukan’, dan
dengan rela taat pada Wahyu yang diberikan oleh Dia” (Konstitusi Dogmatis Dei
Verbum no 5). Semua ini menuntun pada perubahan fundamental dalam cara
berhubungan dengan realita sebagai keseluruhan; semuanya tampak dalam terang
baru sehingga hal ini adalah “pertobatan” sejati, iman adalah “perubahan
mentalitas”. Ini karena Allah mewahyukan diri-Nya dalam Kristus dan membuat
rencana kasihnya dikenal, Ia menjadi makna yang menopang kehidupan, batu karang
yang diatasnya kita menemukan stabilitas. Karenanya… iman berarti menyambut
pandangan realitas Allah didalam kehidupan, artinya membiarkan Allah membimbing
kita dengan perkataan dan sakramen-sakramen-Nya dalam pemahaman akan apa yang
harus kita lakukan, bagaimana kita seharusnya hidup. Dan pada saat yang sama,
iman berarti pemahaman menurut Allah dan melihat dengan mata-Nya yang membuat
kehidupan menjadi pasti, yang memampukan kita untuk “berdiri” dan bukannya
jatuh.
===========================================
KatekeseTahun Iman : Tahap-tahap Pewahyuan
“Allah datang kepada kita dalam hal-hal yang paling baik kita ketahui
dan dapat diverifikasi dengan mudah, hal-hal dari rutinitas sehari-hari,
terpisah darinya kita tidak dapat memahami diri sendiri ” (cf.
John Paul II, Encyclical Fides et Ratio, n. 12).
St, Markus Penginjil mencatat kotbah Yesus dalam kata-kata yang singkat
dan jelas :”waktunya telah tiba, dan kerajaan Allah sudah dekat” (Mark 1:15).
Apa yang menerangi dan memberi kepenuhan makna kepada sejarah dunia dan manusia
mulai bersinar di Gua Bethlehem; ini adalah Misteri yang…akan kita
kontemplasikan saat Natal : keselamatan, yang dibawa dalam Yesus Kristus. Dalam
Yesus dari Nazaret Allah menunjukkan wajah-Nya dan meminta manusia untuk
memilih mengenal dan mengikuti Dia. Wahyu Allah sendiri dalam sejarah masuk ke
dalam hubungan dialog kasih dengan manusia, memberi makna baru bagi seluruh
perjalanan manusia. Sejarah bukanlah semata-mata keberlanjutan abad, tahun atau
hari, tapi rentang waktu dari sebuah kehadiran yang memberikan kepenuhan makna
dan membukanya untuk membunyikan harapan.
Dimana kita bisa menemukan tahap-tahap dari pewahyuan Allah ini? Kitab
suci adalah tempat terbaik untuk menemukan proses ini, dan Saya… mengundang
semua orang, dalam tahun Iman ini, untuk membuka Kitab Suci lebih sering,
untuk memegang, membaca dan melakukan meditasi padanya dan memberikan perhatian
lebih besar pada Bacaan Misa MInggu; semua ini adalah makanan yang berharga
bagi iman kita. Dalam membaca Perjanjian Lama kita bisa melihat bagaimana Allah
ikut campur dalam sejarah umat pilihan, umat yang dengannya Ia membuat
perjanjian : ini bukan peristiwa yang sekejap kemudian memudar hingga menjadi
terlupakan, Melainkan, peristiwa ini menjadi ”ingatan (memori)”, yang secara
bersama mereka membentuk “sejarah keselamatan”, tetap hidup dalma kesadaran
umat Israel melalui perayaan peristiwa keselamatan. Karenanya dalam kitab
keluaran, Tuhan memerintahkan Musa untuk merayakan Paskah Yahudi, peristiwa
besar pembebasan dari perbudakan di mesir, dengan kata-kata ini :”Hari ini akan
menjadi hari peringatan bagimu, dan kamu akan melaksanakannya sebagai pesta
bagi Tuhan; di seluruh generasimu, kamu akan menaatinya sebagai sebuah
ketetapan selamanya ” (12:14)
Iman dipupuk oleh penemuan dan ingatan akan Allah yang setia yang
membimbing sejarah dan membentuk fondasi yang permanen dan rasional yang
diatasnya dibangun kehidupan kita. Madah Magnificat, yang ditujukan kepada
Allah oleh Maria, adalah contoh yang mulia dari sejarah keselamatan ini, akan
memori yang menjaga dan membuat tindakan Allah hadir. Maria memuliakan tindakan
kasih Allah dalam perjalanan aktual umat-Nya, kesetiaannya kepada janji-janji
perjanjian yang Ia buat kepada Abraham dan keturunannya; dan semua ini adalah
ingatan yang hidup akan kehadiran yang yang tidak pernah tidak hadir (Lk
1:46-55)
Bagi Israel, Keluaaran adalah peristiwa pusat historis yang didalamnya
Allah mewahyukan tindakannya yang berkuasa. Allah membebaskan Israel dari
perbudakan di Mesir agar mereka kembali ke Tanah Terjanji dan menyembah Ia
sebagai Satu Tuhan yang benar.
Jadi Allah sendiri lah yang mewahyukan diri-Nya tidak hanya dalam
tindakan Penciptaan primordial, tapi juga dengan masuk ke dalam sejarah kita,
sejarah kelompok kecil orang yang bukan terbesar dan terkuat. Dan wahyu-diri
Allah, yang berkembang sepanjang sejarah, memuncak dalam Yesus Kristus : Allah,
Logos, Sabda kreatif yang merupakan asal usul dunia, menjadi manusia dalam
Yesus dan didalam Ia menunjukkan wajah Allah yang benar.
Katekismus melacak kembali perjalanan Allah dengan manusia dari
Perjanjian dengan Nuh setelah banjir, sampai ke panggilan Abraham untuk
meninggalkan tanahanya untuk dijadikan Bapa banyak bangsa. Allah membentuk umat
Israel-Nya dalam peristiwa eksodus, dalam Perjanjian Sinai dan dalam karunia,
melalui Musa, tentang Hukum, untuk dikenali dan dilayani sebagai Allah yang
benar dan hidup. Dengan para nabi, Allah membentuk umat-Nya dalam pengharapan
akan keselamatan.
Kita tahu – melalui Yesaya - tentang “Eksodus Kedua”, kembalinya
Umat [Israel] melalui penahanan di Babilonia, pendirian ulangnya; pada waku
yang sama, banyak yang terpisah dan dalam cara ini dimulailah universalitas
iman. Akhirnya, tidak hanya Raja, Daud, Putra Daud, dinantikan, tapi “Putra
Manusia”, keselamatan semua orang. Pertemuan antar budaya terjadi, pertama
dengan Babilonia dan Siria, kemudian juga dengan orang Yunani. Karenanya kita
melihat bagaimana jalan Allah meluas, bagaimana jalan tersebut menyingkapkan
secara meningkat kepada Mister Kristus, Raja Alam Semesta. Di dalam Kristus,
Wahyu dalam kepenuhannya, rencana Allah yang penuh kasih, terjadi : Ia
menjadikan dirinya seorang diantara kita.
Saya telah merefleksikan tentang mengingat tindakan Allah dalam sejarah
manusia untuk menunjukkan tahap-tahap dari rencana kasih besar ini, dibuktikan
di Perjanjian Lama dan Baru. Ini adalah rencana tunggal keselamatan, ditujukan
kepada semua kemanusiaan, secara bertahap dinyatakan dan disadari melalui kuasa
Allah, yang didalamnya Allah selalu bereaksi terhadap tanggapan manusia dan
menemukan awal baru dari Perjanjian ketika manusia tersesat.
===========================================
Katekese Tahun Iman : Iman Maria
Sekarang saya ingin berefleksi bersamamu secara singkat tentang iman
Maria, awal dari misteri agung Kabar Gembira [yang disampaikan Malaikat
Gabriel]
“Chaire kecharitomene, ho Kyrios meta sou”, “Bersukacitalah, penuh
rahmat, Tuhan besertamu” (Luk 1:28). Ini adalah kata-kata – yang dicatat
Penginjil Lukas – yang disampaikan Malaikat Agung Gabriel kepada Maria.
Sekilas, istilah chaîre, “bersukcitalah”, terlihat seperti
sapaan biasa,hal yang umum dalam dunia Yunani, tapi kata ini, ketika dibaca
berlawanan dengan tradisi Biblis, memiliki makna yang lebih dalam. Istilah yang
sama hadir empat kali dalam versi Yunani Perjanjian Lama, dan selalu sebagai
proklamasi sukacita pada saat kedatangan Mesias. (cf. Zeph 3:14; Joel 2:21; Zech 9:9; Lam 4:21). Salam dari
malaikat kepada Maria karenanya adalah undangan kepada sukacita, sukacita yang
mendalam, ia mengumumkan akhir kesedihan bahwa ada di dunia ini di depan
batas-batas kehidupan, penderitaan, kematian, kejahatan, kegelapan yang jahat
yang tampaknya mengaburkan terang kebaikan ilahi. Ini adalah sambutan yang
menandai awal Injil, Kabar Baik.
Tapi mengapa Maria diundang ke dalam sukacita ini? Jawabannya terletak
pada bagian kedua dari sambutan ini :”Tuhan besertamu”. Disini juga, untuk
memahami makna ungkapan ini kita harus kembali ke Perjanjian Lama. Dalam Kitab
Zefanya, kita menemukan ungkapan ini “Bersukcitalah, Putri Sion…Raja Israel,
Tuhan ada ditengah-tengah kamu…Tuhan, Allahmu, yang ada di tengah-tengahmu
adalah Penyelamat yang berkuasa” (3:14-17). Dalam kata-kata ini ada janji ganda
yang dibuat kepada Israel, kepada Putri Sion : Allah akan datang sebagai penyelamat
dan akan berdiam di tengah umat-Nya, dirahim – seperti yang mereka katakan – di
rahim Putri Sion. Dalam dialog antara malaikat dan Maria, janji ini dipenuhi :
Maria disamakan dengan orang yang ditunangkan kepada Allah, ia sungguh Putri
Zion dalam pribadi; didalam ia dipenuhi pengharapan akan kedatangan akhir
Allah, didalam Ia Allah yang hidup berdiam.
Dalam sambutan malaikat, Maria disebut “penuh rahmat”;dalam kata Yunani
“rahmat”, charis, memiliki akar linguistik yang sama seperti akar
“sukacita”. Dalam ungkapan ini, ia juga mengklarifikasi lebih lanjut
sumber sukacita Maria : sukacita yang datang dari rahmat, ia datang dari
persekutuan dengan Allah, dari hubungan yang penting dengan Ia, dari menjadi
tempat berdiamnya Roh Kudus, secara menyeluruh dibentuk oleh tindakan Allah.
Maria adalah ciptaan yang dalam cara yang unik telah membuka pintu kepada
Pencipta, ia telah menempatkan dirinya di tangan-Nya, tanpa keraguan. Ia hidup
secara menyeluruh dari dan dalam hubungan dengan Tuhan; ia ada didalam sikap mendengarkan,
penuh perhatian untuk mengenali tanda-tanda Allah dalam perjalanan umatnya; ia
dimasukkan ke dalam sejarah iman dan harapan dalam janji-janji Allah, yang
membentuk fondasi keberadaannya. Dan ia taat dengan bebas kepada sabda yang
diterima, kepada kehendak ilahi dalam ketaatan iman. Saya ingin menenkankan
poin lain yang penting : terbukanya jiwa kepada Allah dan kepada tindakan
iman-Nya juga mencakup unsur kegelapan. Hubungan antara manusia dan Allah tidak
menghapus jarak antara Pencipta dan ciptaan, ia tidak menghapuskan apa yang
dikatakan Rasul Paulus dihadapan kedalaman kebijaksanaan Allah, “O, alangkah
dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki
keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Roma
11:33). Tapi ia yang – seperti Maria – secara menyeluruh terbuka kepada Allah,
datang untuk menerima kehendak Allah, bahkan bila itu misterius, bahkan bila
itu tidak sering berhubungan dengan kehendak kita dan merupakan pedang yang
menembus jiwa, seperti yang dinubuatkan pria tua Simeon kepada Maria, ketika
Yesus dipersembahkan di Bait Allah (Luk 2:35). Perjalanan iman Abraham mencakup
momen sukacita karena karunia putranya Ishak, tapi juga momen kegelapan, ketika
ia naik ke gunung Moria untuk melakukan tindakan yang paradoks : Allah meminta
ia mengurbankan putra yang baru saja diberikan kepadanya. Di gunung, malaikat
berkata kepadanya :”Jangan sentuh anak laki-laki ini atau melakukan apapun
padanya, karena engkau tidak menahan putramu, putra satu-satunya, dariku” (Kej
22:12); kepercayaan penuh Abraham pada Allah yang setia pada janjinya ada
bahkan ketika sabdanya misterius dan sulit, hampir tidak mungkin diterima.
Begitu juga dengan Maria, imannya menghidupi sukacita kabar gembira yang
disampaikan malaikat Gabriel, tapi juga melewati melaui momen kegelapan
penyaliban Putranya, sampai mencapai terang Kebangkitan.
Tidak berbeda dari pejalanan iman kita : perjalanan iman kita bertemu
dengan momen terang, tapi juga bertemu dengan momem-momen dimana Allah tampak
tidak hadir, keheningannya memberatkan hati kita dan kehendak-Nya tidak
berhubungan dengan kehendak kita, kepada apa yang kita suka. Tapi semakin kita
membuka diri kepada Allah, menyambut karunia iman, menempatkan kepercayaan kita
padanya secara utuh – seperti Abraham dan Maria – semakin Ia sanggup membuat
kita, bersama dengan kehadirannya, menghidupi setiap situasi kehidupan dalam
damai dan jaminan kesetiaan-Nya dan kasih-Nya. Tapi ini artinya keluar dari
diri sendiri dan rencana sendiri karena Sabda Allah adalah lampu yang
membimbing pikiran dan tindakan kita.
Saya ingin berhenti sekali lagi untuk menekankan pada satu aspek yang
muncul dalam kisah kelahiran Yesus yang diceritakan St. Lukas. Maria dan Yoseph
membawa putra mereka ke Yerusalem, ke Bait Allah untuk mempersembahkannya
kepada Tuhan dan mengkonsekrasikan-Nya seperti yang diharuskan oleh hukum Musa,
“Setiap putra sulung laki-laki harus diberikan sebagai yang Kudus kepada Tuhan”
(Luk 2:22-24). Gestur Keluarga Kudus ini memperoleh makna yang lebih mendalam
bila kamu membacanya dalam terang pengetahuan evangelis tentang Yesus ketika ia
berumur 12 tahun, yang setelah tiga hari mencarinya, ditemukan dalam Bait Allah
berdiskusi tentang Kitab Suci dengan para rabi. Kata-kata yang penuh perhatian
Maria dan Yoseph :”Nak, mengapa kamu memperlakukan kami seperti ini? Lihat,
ayahmu dan aku mencarimu dengan sangat cemas”, berhubungan dengan misteri
dari jawaban Yesus :”Mengapa kamu mencari aku? Tidakkah kamu tahu bahwa aku
harus berada di rumah Bapaku?” (Luk 2:48-49). Ada di dalam Rumah Bapa, seperti
seorang Putra. Maria harus memperbaharui kedalaman iman yang dengannya ia
berkata “ya” saat mendengar Kabar Gembira ; ia harus menerima awalan ini bahwa
Bapa yang benar yang dimiliki Yesus; ia harus harus meninggalkan Putranya yang
ia lahirkan untuk bebas mengikuti misi-Nya. Dan “Ya” Maria kepada kehendak
Allah, dalam ketaatan iman, diulangi disepanjang hidupnya, sampai pada masa
yang paling sulit, yaitu masa penyaliban [Yesus]
Berhadapan dengan semua ini, kita bisa bertanya pada diri kita :
Bagaimana Maria mampu menghidupi jalan ini disisi Putranya dengan iman yang
begitu kuat, bahkan dalam masa-masa kegelapan, tanpa kehilangan kepercayaan
penuh dalam tindakan Allah? Ada sebuah sikap dasar yang diambil Maria dalam menghadapi
apa yang terjadi dalam hidupnya. Saat menerima kabar Gembira ia terganggu
karena mendengar perkataan malaikat – ini adalah rasa takut yang dirasakan
ketika disentuh oleh kedekatan Allah – tapi ini bukan sikap mereka yang takut
berada dihadapan akan apa yang diminta Allah. Maria berefleksi, ia merenungkan
makna sambutan ini (Luk 1:29). Kata Yunani yang digunakan dalam Injil untuk
mendefinisikan “refleksi” ini, “dielogizeto”,
memunculkan akar kata “dialog”. Ini artinya bahwa Maria datang ke dalam dialog
intim dengan Sabda Allah yang diumumkan, ia tidak mempertimbangkannya secara
dangkal, namun berhenti, ia membiarkannya menembus pikiran dan hatinya untuk
memahami apa yang Tuhan inginkan darinya, makna kabar gembira. Kita menemukan
petunjuk lain akan sikap batin Maria dihadapan tindakan Allah, di dalam Injil
Lukas, di waktu kelahiran Yesus, setelah penyembahan para gembala. Lukas
menegaskan bahwa Maria “menyimpan semua perkataan ini dan merenungkannya di
dalam hatinya” (Luk 2:19), dalam istilah Yunani symballon, kita dapat berkata bahwa ia
“memegang bersama”, “meletakkan bersama”, di dalam hatinya semua peristiwa yang
sedang terjadi; ia menempatkan tiap unsur, kata, fakta dalam keseluruhan dan
membandingkannya, menjaganya, mengenali bahwa semuanya datang dari kehendak
Allah. Maria tidak berhenti pada pemahaman yang dankal akan apa yang terjadi
didalam hidupnya; ia membiarkan dirinya dipertanyakan oleh perisiwa, mengolahnya,
membedakanya, dan memperoleh pemahaman yang hanya bisa diberikan oleh iman.
Kerendahan hati yang mendalam akan ketaatan iman Maria, yang menyambut ke dalam
dirinya apa yang tidak ia pahami dari tindakan Allah, membiarkannya bagi Allah
untuk membuka pikiran dan hatinya. “ Terberkatilah ia yang percaya pada sabda
Tuhan” (Luk 1:45), saudaranya Elizbeth, berseru. Karena iman inilah semua
generasi akan menyebut ia Yang Berbahagia.
===========================================
Katekese Tahun Iman : Yang Dikandung dari Roh Kudus
Audiensi Umum 2 Januari 2013
Kelahiran Tuhan, sekali lagi menerangi kegelapan yang sering
mengelilingi dunia dan hati kita dengan terang-Nya, [terang yang] membawa
harapan dan sukacita. Darimana terang ini berasal? Dari kandang di Bethlehe,,
dimana gembala menemukan “Maria dan Yoseph, dan seorang Bayi berbaring di
palungan” (Luk 2:16). Dihadapan Keluarga Kudus ini, pertanyaan lain, dan
lebih mendalam, muncul : Bagaimana bisa anak yang kecil dan lemah ini telah
membawa hal baru yang radikal bagi dunia untuk mengubah seluruh sejarah?
Tidakkah ada sesuatu yang misterius dalam asal usulnya yang melampui kandang
tersebut?
Lagi dan lagi pertanyaan tentang asal usul Yesus muncul, pertanyaan yang
sama yang ditanyakan oleh Pontius Pilatus selama pengadilan : “Darimana kamu
berasal?” (Yoh 19:29). Namun asal usul Yesus jelas. Di Injil Yohanes, ketika
Tuhan berkata :”Akulah roti yang turun dari surga”, orang Yahudi bereaksi
dengan menggumam, “Bukankah Ia Yesus, putra Yoseph? Bukankah kita mengenal ayah
dan ibunya? Lalu bagaimana ia bisa berkata ;’Aku telah turun dari surga’?’”
(Yoh 6:42). Dan, sedikit lagi, warga Yerusalem secara mendalam menentang klaim
Ke-mesias-san Yesus, dengan menyatakan “Tapi kita tahu darimana Ia berasal”.
Ketika Mesias datang, tidak seorangpun tahu darimana Ia berasal.” (Yoh 7:27).
Yesus sendiri menunjukkan betapa tidak cukupnya klaim mereka untuk mengenal
asal-usulnya, dan dengan ini telah mempersembahkan sebuah petunjuk untuk
mengetahui darimana Ia berasal. “Engkau mengenal aku dan juga mengetahui
darimana aku datang. Namun Aku tidak datang atas diriku sendiri, tapi Ia yang
mengutus aku, yang kamu tidak tahu, adalah benar” (Yoh 7:28). Tentu, Yesus
berasal dari Nazareth, lahir di Bethlehem, tapi apa yang diketahui tentang asal
usul-Nya yang sebenarnya?
Dalam keempat Injil jawaban terhadap pertanyaan “dari mana” Yesus
berasal dengan jelas muncul, asal usul sebenarnya adalah Bapa, Ia datang
seluruhnya dari Ia, tapi dalam cara yang berbeda dari para nabi yang dikirim
oleh Allah yang mendahului Dia. Ini berasal dalam misteri Allah, yang “tak
seorangpun tahu”, hal ini telah terkandung dalam kisah kelahiran [Yesus] dari
Injil Matius dan Lukas, yang kita baca di masa Natal. Malaikat Gabriel
mengumumkan :”Roh Kudus akan turun atasmu, dan kuasa Yang Mahatinggi akan
menaungi kamu. Karenanya seorang anak yang lahir akan disebut kudus, Putra
Allah” (Luk 1:35). Kita mengulangi kata-kata yang sama setiap kali kita
mengulangi Syahadat, pengakuan iman : : “et incarnatus est de Spiritu
Sancto, ex Maria Virgine,” “oleh
kuasa Roh Kudus Ia lahir dari Perawan Maria”. Dalam kalimat ini kita
membungkukkan kepala karena selubung yang menyembunyikan Allah…diangkat
dan misterinya yang tak terjangkau dan tak terselami menyentuh kita secara
langsung : Allah menjadi Emanuel, “Allah beserta kita”…
Bila kita dengan seksama mempertimbangkan ungkapan “melalui Roh Kudus ia
berinkarnasi dari Perawan Maria,” kita menemukan bahwa hal ini mencakup empat
subjek yang berinteraksi. Roh Kudus dan Maria secara eksplisit disebutkan, tapi
“Ia” dipahami, yaitu, Putra, menjadi manusia dalam rahim seorang perawan. Dalam
pengakuan iman, Syahadat, Yesus disebut oleh nama-nama yang berbeda : “Tuhan,
…Kristus, Putra Allah yang tunggal…Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah
benar dari Allah benar…sehakekat dengan Bapa” (Syahadat Nicea-Konstantinople).
Kita memahami bahwa “Ia” mengacu pada Pribadi yang lain, Bapa. Subjek pertama
dari kalimat ini, karenanya, Bapa yang bersama Putra dan Roh Kudus, adalah
Allah yang Tunggal.
…Tanpa Maria, masuknya Allah ke dalam sejarah manusia tidak akan sampai
pada akhirnya dan itu merupakan pusat bagi pengakuan iman kita, tidak akan
terjadi : Allah adalah Allah beserta kita. Karenanya Maria merupakan bagian
dalma sebuah cara yang hakiki bagi iman kita dalam Allah yang bertindak, yang
melakukan campur tangan dalam sejarah…
…Tapi Allah memilih wanita yang rendah hati, di sebuah desa yang tak
dikenal, di salah satuh provinsi paling jadih dari Kekaisaran Romawi Agung.
Selalu, bahkan ditengah-tengah masalah yang paling sulit yang dihadapi, kita
harus percaya pada Allah, membaharui iman kita dalam kehadiran-Nya dan tindakan
dalam sejarah kita, seperti Maria. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah!
Bersama Ia, kehidupan kita selalu berjalan di atas tanah yang kokoh dan terbuka
kepada masa depan akan pengharapan yang teguh
Diakui dalam Syahadat :”Melalui Roh Kudus Ia lahir dari Perawan Maria”,
kita menegaskan bahwa Roh Kudus sebagai kuasa yang Maha Tinggi Allah telah
bekerja dalam cara yang misterius dalam konsepsi Putra Allah oleh Perawan
Maria. Penginjil Lukas mencatat kata-kata Malaikat Agung Gabriel :”Roh Kudus
akan turun atasmu, dan kuasa Yang Mahatinggi akan menaungi kamu” (1:35). Dua
referensi jelas : pertama, pada saat penciptaan. Di awal kitab kejadian kita
membaca bahwa “Roh Allah melayang-layang diatas air” (1:2), adalah Roh Pencipta
yang memberi kehidupan kepada segala sesuatu dan manusia. Apa yang terjadi pada
Maria, melalui pekerjaan Roh Ilahi, adalah penciptaan baru : Allah, yang
menciptakan mahkluk dari ketiadaan, dengan Inkarnasi, memberkan kehidupan bagi
awla kemanusiaan yang baru. Bapa Gereja sering berbicara tentang Kristus
sebagai Adam Baru, untuk menandai awa dari penciptaan baru akan kelahiran Putra
Allah dalam rahim Perawan Maria. Hal ini membuat kita berefleksi tentang
bagaimana iman membawa hal baru yang begitu berkuasa untuk membuat kita lahir
baru. Kenyataannya, baptisan adalah awal kehidupan Kristen, ketika kita
dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah, untuk berbagi dalam hubungan
Keputraan yang Yesus miliki dengan Bapa. Dan saya ingin menekankan bahwa
baptisan diterima, kita “dibaptis” – ini kata pasif – karena tidak seorangpun
sanggup menjadi anak Allah karena mereka sendiri : ini merupakna hadiah yang
diberikan dengan bebas.
St. Paulus mengingat kembali keputraan angkat dari Orang Kristen dalam
kutipan sentral dari Surat kepada Umat di Roma, ia menulis :”karena mereka yang
dituntun oleh Roh Allah adalah anak-anak Allah. Karena kamu tidak menerima roh
perbudakan untuk jatuh kembali kedalam ketakutan, tapi kamu menerima Roh yang
menjadikan kamu anak Allah , yang melaluinya kamu berseru’Abba, Bapa’Roh
sendirilah yang menjadi saksi bersama roh bahwa kita adalah anak-anak Allah.”
(Roma 8:14-16). Hanya bila kita membuka diri kepada Allah, seperti Maria, hanya
bila kita mempercayakan hidup kita pada Tuhan sebagai teman yang kepadanya kita
percaya secara menyeluruh, segala sesuatu berubah, kehidupan kita mengambil
makna baru dan wajah baru : bahwa anak-anak Bapa yang mencintai kita dan tidak
pernah meninggalkan kita.
…Malaikat berkata pada Maria :”Kuasa yang Mahatinggi akan menaungi kamu
dengan bayangannya”. Ini merupakan pengingat akan awan kudus selama perjalanan
Eksodus, berhenti diatas Kemah pertemuan, tabut perjanjian, yang dibawa Umat
Israel bersama mereka, dan yang menandakan kehdiran Allah (bdk Kel 50 : 34-48).
Maria adalah tabernakel kudus yang baru, Tabut Perjanjian baru : dengan “ya”
nya kepada perkataan malaikat agung, Allah menerima sebuah rumah di dunia ini,
Ia yang tidak bisa ditampung alam semesta datang untuk berdiam dalam rahim
perawan.
…“Darimana kamu berasal?” Dari pertimbangan ini tampak jelas dari awal
Injil, apakah asal usul Yesus yang sebenarnya : Ia adalah Putra Tunggal Bapa,
Ia datang dari Allah. Kita berada di hadapan misteri yang agung dan menerangi
yang kita rayakan saat Natal : Putra Allah, melalui Roh Kudus, lahir dari
Perawan Maria. Pengumuman ini selalu terdengar baru dan membawa harapan dan
sukacita bagi hati kita, karena tiap waktu ia memberikan kita kepastian bahwa,
walaupun kita sering merasa lemah, malang, tidak mampu menghadapi tantangan dan
kejahatan dunia, kuasa Allah selalu bekerja dan mengerjakan mukjizat didalam
kelemahan. Rahmat-Nya adalah kekuatan kita (bdk 2 Kor 12: 9-10)
===========================================
Katekese Tahun Iman : Menjadi Manusia
Audiensi Umum 9 Januari 2013
Di masa Natal ini kita memusatkan [perhatian] kita pada misteri agung
Allah yang turun dari surga untuk menjadi manusia…Yesus menjadi manusia seperti
kita, dan dalam melakukan ini Ia membuka pintu ke surga bagi kita, kepada
perseketuan penuh dengan-Nya.
Pada hari ini, kata “inkarnasi” Allah…mengungkapkan realita yang kita
rayakan saat Natal : Putra Allah menjadi manusia, seperti yang diucapkan dalam
Syahadat. Apa arti dari kata ini, yang merupakan pusat dari iman Kristen?…St.
Ignatius Antiokia, dan khususnya St. Ireneus telah menggunakan istilah ini yang
direfleksikan di Pembuka Injil Yohanes, secara khusu pada ungkapan “Sabda
menjadi manusia (flesh)” (Yoh 1:14). Disini kata “manusia”, menurut tradisi
Yahudi, mengacu pada pribadi sebagai suatu keseluruhan dibawah aspek
temporalitas dan kefanaan-Nya, kemiskinan dan ketergantungan-Nya. Maksudnya
adalah keselamatan yang dikerjakan oleh Allah yang menjadi manusia dalam Yesus
dari Nazareth menyentuh manusia dalam realitas konkret dan dalam setiap
situasi. Allah mengambil kondisi manusia untuk menyembuhkan semua yang
memisahkan kita dari-Nya, agar kita bisa memanggil-Nya, dalam Putra-Nya yang
tunggal, oleh nama “Abba, Bapa” dan sungguh menjadi anak-anaknya. St. Ireneus
berkata, “Inilah alasannya Sabda menjadi manusia, dan Putra Allah, Putra
manusia : agar manusia, dengan memasuki ke dalam persatuan dengan Sabda dan
karenanya menerima keputraan ilahi, dapat menjadi putra Allah” “(Adversus
haereses, 3,19,1: PG 7.939; cf. Katekismus Gereja Katolik, 460).
Logos yang bersama Allah, Logos yang adalah Allah (Yoh 1:1),
melaluinya semua ciptaan diciptakan (Yoh 1:3), yang menemani manusia dengan
terang-Nya sepanjang sejarah (10:4-5, 1:9), menjadi manusia dan membuat tempat
kediaman-Nya diantara kita, menjadi satu dari kita (1:14)… Merupakan hal
penting, karenanya, agar kita menemukan kembali kekaguman kita dihadapan
misteri ini, yang mengijinkan diri kita diselimuti oleh kebesaran peristiwa ini
: Allah berjalan di jalan-jalan kita sebagai manusia, Ia masuk ke dalam waktu
manusia, untuk menyampaikan diri-Nya bagi kita (1Yoh 1:1-4). Dan Ia melakukan
ini tidak dengan kegemilangan dari sebuah kedaulatan, yang menundukan dunia
dengan kekuatan-Nya, tapi dengan kerendahan hati seorang anak.
Unsur kedua juga harus digarisbawahi. Dalam doa persembahan saat Misa
Natal kita berdoa :”Terimalah, Ya Tuhan, persembahan kami di malam terang ini,
dan untuk pertukaran hadian misterius ini yang mengubah kami dalam Kristus,
Putra-Mu, yang mengangkat manusia dalam kemuliaan disebelah Engkau”. Gagasan akan
pemberian merupakan inti liturgi dan membawa kita pada kesadaran tentang hadiah
asal dari Natal : pada malam Kudus, Allah, menjadi manusia, ingin menjadi
hadiah bagi manusia, Ia yang memberikan sedikit dari dirinya bagi kita,
mengambil kemanusiaan kita untuk memberikan kita keilahian-Nya. Ini adalah
hadiah yang agung. Bahkan dalam pemberian kita tidaklah penting apakah hadiah
tersebut mahal atau tidak; mereka yang tidak berupaya untuk memberi sedikit
dari diri mereka, selalu terlalu sedikit memberi, memang, kadang mereka
berusaha menggantikan inti dan makna pemberian dengan uang atau benda material.
Misteri Inkarnasi menunjukkan kita bahwa Allah tidak melakukan ini : Ia tidak
memberi sesuatu; Ia memberikan diri-Nya dalam Putra Tunggal-Nya. Disini kita menemukan
contoh bagi pemberian kita, agar hubungan kita, khususnya yang paling penting,
didorong oleh kemurahan hati dan cinta.
Saya ingin menawarkan refleksi ketiga : Fakta tentang Inkarnasi, Allah
menjadi manusia seperti kita, menunjukkan pada kita realisme Cinta ilahi yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Tindakan Allah, kenyataannya, tidak dibatasi
dengan kata-kata, memang kita bisa berkata bahwa Ia tidak puas dengan
berbicara, tapi dibenamkan dalam sejarah kita dan mengambil kelelahan dan beban
kehidupan manusia. Putra Allah sungguh menjadi manusia, lahir dari Perawan
Maria, dalam waktu dan tempat yang spesifik di Bethlehem selama pemerintahan
Augustus dibawah Gubernur Quirinus (Luk 2:1-2), ia bertumbuh di sebuah
keluarga, memiliki teman, Ia membentuk sekelompok murid, Ia mengajar para rasul
untuk melanjutkan misi-Nya, Ia melengkapi seluruh kehidupan dunianya di Salib.
Cara bertindak Allah merupakan stimulus yang kuat untuk menanyakan realisme
iman kita, yang tidak seharusnya dibatasi oleh area perasaan dan emosi, tapi
harus masuk ke dalam keberadaan konkret, yang menyentuh kehidupan sehari-hari
kita dan mengarahkannya dalam cara yang praktis. Allah tidak berhenti pada
perkataan, tapi Ia menunjukkan kita bagaimana untuk hidup, berbagi keberadaan
kita, kecuali dalam dosa. Katekismus St. Pius X…dengan kesederhanannya,
memberikan jawaban terhadap pertanyaan “Apa yang harus kita lakukan untuk hidup
menurut Allah?” sebagai berikut : “Hidup menurut Allah berarti kita harus
percaya kebenaran yang diwahyukan oleh-Nya dan menaati perintah-Nya dengan
pertolongan rahmat-Nya, yang dicapai melalui sakramen-sakramen dan doa”. Iman
memiliki aspek fundamental yang tidak hanya mempengaruhi pikiran dan hati, tapi
seluruh kehidupan kita.
Unsur terakhir saya ajukan bagi perenungan anda. St. Yohanes menyatakan
bahwa Sabda, Logos yang bersama Allah sejak
permulaan, dan bahwa semua hal diciptakan melalui Sabda, dan tidak ada yang ada
yang diciptakan tanpa Ia (Yoh 1:1-3). Penginjil dengan jelas menghubungkan
dengan kisa Penciptaan yang ada di bab awal kitab kejadian, dan membacanya
dalam terang Kristus…Sabda yang sama telah selalu ada bersama Allah, yang
adalah Allah sendiri, dan olehnya serta dalam Ia segala sesuatu diciptakan (Kol
1:16-17), [Sabda] menjadi manusia : Allah yang kekal dan tak terhingga,
membenamkan diri-Nya dalam keterbatasan manusia, ciptaan-Nya, untuk membawa
manusia dan seluruh ciptaan pada-Nya. Katekismus Gereja Katolik menyatakan
:”Penciptaan pertama menemukan maknanya dan puncaknya dalam penciptaan baru
dalam Kristus, kemegahan yang melampaui penciptaan pertama” (349). Bapa Gereja
telah menyamakan Yesus dengan Adam, sampai menyebutnya “Adam kedua” atau Adam
yang definitif, gambaran Allah yang sempurna. Dengan Inkarnasi-Nya Putra Allah
adalah ciptaan baru, yang memberi jawaban lengkap terhadap pertanyaan “Siapakah
manusia?”. Hanya dalam Yesus rencana Allah terhadap manusia dinyatakan secara
penuh : Ia adalah manusia yang definitif menurut Allah…Di dalam anak ini, Putra
Allah yang direnungkan saat Natal, kita bisa mengenali wajah manusia yang
sebenarnya, dan hanya dengan membuka tindakan terhadap rahmat-Nya dan berusaha
mengikuti-Nya setiap hari, kita menyadari rencana Allah bagi kita.
===========================================
Katekese Tahun Iman : Wajah Allah Dinyatakan dalam Kristus
Audiensi Umum 16 Januari 2013
… Perjanjian Lama memberitahu kita bagaimana Allah, setelah penciptaan,
meskipun dosa asal, kesombongan manusia yang ingin mengambil tempat
Pencipta-Nya, Allah menawarkan kemungkinan persahabatan dengan-Nya, khususnya
melalui perjanjian dengan Abraham dan perjalanan sebuah bangsa kecil, bangsa
Israel, yang Ia pilih bukan dengan kriteria kekuasaan duniawi, tapi karena
kasih. Ini adalah pilihan yang tetap merupakan misteri dan pilihan ini
menyatakan cara Allah memanggil tidak untuk mengecualikan yang lain, tapi agar
mereka menjadi jembatan yang menuntun pada-Nya. Memilih, selalu memilih yang
lain. Dalam sejarah bangsa Israel kita dapat melacak kembali jejak langkah
perjalanan panjang dimana Allah membuat diri-Nya dikenal, menyatakan diri-Nya,
masuk dalam sejarah dalam perkataan dan perbuatan. Untuk pekerjaan ini Ia
menggunakan perantara-perantara, seperti Musa, Para Nabi, Para Hakim, yang
menyampaikan kehendak-Nya kepada umat-Nya, mengingatkan kita akan perlunya
setia pada perjanjian dan menghidupkan pengharapan bagi realisasi yang penuh
dan definitif dari janji-janji ilahi.
Realisasi dari janji-janji inilah yang kita renungkan saat Natal : Wahyu
Allah mencapai puncaknya, kepenuhannya…Yesus…adalah wahyu Allah. Dalam
pengantar Injilnya, Santo Yohanes menulis :”Tak seorangpun pernah melihat
Allah. Putra Tunggal-Nya, Allah, yang ada disisi Bapa, telah menyatakan Ia”
(Yoh 1:18)
Saya ingin memusatkan perhatian pada “telah menyatakan Ia”. Berkaitan
dengan hal ini, St. Yohanes, dalam injilnya, membicarakan sebuah fakta penting
yang baru saja kita dengar. Menjelang Penderitaannya, Yesus meyakinkan
murid-murid-Nya, mendorong mereka untuk tidak takut dan memiliki iman; lalu, ia
mulai berdialog dengan mereka yang didalamnya Ia berbicara tentang Allah Bapa
(Yoh 14:2-9). Pada satu titik, rasul Filipus bertanya pada Yesus,”Tuhan,
tunjukkan Bapa pada kami, dan ini sudah cukup bagi kami” (Yoh 14:8). Filipus
sangat konkret dan praktis, ia mengucapkan apa yang kita semua ingin katakana :
ia meminta untuk “melihat” Bapa, melihat wajah-Nya. Jawaban Yesus, bukan hanya
untuk Filipus tapi untuk kita semua, memperkenalkan pada kita inti iman
Kristologi Gereja; Karena Tuhan berkata : “Siapapun yang telah melihat Aku, ia
melihat Bapa” (Yoh 14:9). Ungkapan ini merangkum hal baru dalam Perjanjian
Baru, hal baru yang muncul di gua Bethlehem : Allah dapat dilihat, Ia
menunjukkan wajah-Nya yang tampak dalam Yesus Kristus.
Tema “mencari wajah Allah”, hasrat untuk melihat wajah-Nya, melihat
bagaimana Allah seperti adanya, hadir disepanjang Perjanjian Lama…namun agama
Yahudi, dengan melarang semua [pembuatan] patung, karena Allah tidak bisa
digambarkan – seperti tetangga mereka yang melakukannya dengan menyembah
berhala, dan dari inilah larangan pembuatan patung di Perjanjian Lama – tampak
untuk secara menyeluruh mengecualikan “melihat” dari penyembahan dan kesalehan.
Apa artinya melihat wajah Allah, bagi Israel yang takwa, menyadari bahwa tidak
bisa ada patung? Pertanyaan ini penting : di satu sisi seolah-olah dikatakan
bahwa Allah tidak bisa direduksi pada sebuah objek, seperti patung yang bisa
diangkat, juga tidak ada yang bisa mengambil tempat Allah; di sisi lain,
ditegaskan bahwa Allah memiliki wajah, bahwa Ia adalah “Engkau” yang bisa masuk
kedalam sebuah hubungan, Ia yang tidak tertutup di surga melihat kebawah kepada
kemanusiaan. Allah tentu ada diatas segala sesuatu, tapi Ia berbalik pada kita
dan mendengar, melihat, dan berbicara pada kita, membuat Perjanjian, Ia mampu
mencintai. Sejarah keselamatan adalah sejarah hubungan Allah dengan kemanusiaan
ini, yang secara berkelanjutan menyatakan diri-Nya pada manusia, membuat
diri-Nya dan wajah-Nya dikenal.
…Di Perjanjian Lama ada tokoh yang terhubung secara khusus dengan tema
“wajah Allah”; adalah Musa, yang dipilih Allah untuk membebaskan umat-Nya dari
perbudakan di Mesir, menghadiahkan Hukum perjanjian dan menuntun mereka ke
Tanah Terjanji. Di Bab 33 Kitab Keluaran, dikatakan bahwa Musa memiliki
hubungan yang dekat dan rahasia dengan Allah :”Tuhan berbicara pada Musa dari
muka ke muka, seperti orang yang berbicara dengan temannya” (ay. 11). Melalui
keyakinan ini Musa memohon pada Allah :”Tunjukkan aku kemuliaan-Mu,” dan
jawaban Tuhan jelas :”Aku akan membuat keindahanku berlalu dari padamu, dan dalam
kehadiranmu Aku akan menyatakan namaku…Tapi wajahku tidak dapat kamu lihat,
karena tidak ada manusia yang melihatku dan tetap hidup…Lihatlah tempat ini di
dekatku…agar kamu dapat melihat punggungku; tapi wajahku tidak dapat dilihat”
(ay 18-23). Di satu sisi, ada dialog dari muka ke muka, seperti teman, tapi di
sisi lain ada kemustahilan, di kehidupan ini, yaitu melihat wajah Allah yang
tetap tersembunyi, penglihatan kita dibatasi. Para Bapa mengatakan ini : kamu
hanya bisa melihat punggungku, yang artinya kamu hanya bisa mengikuti Kristus
dan melihat dari belakang misteri Allah. Kita hanya bisa mengikuti Allah,
melihat punggungnya.
Sesuatu yang baru terjadi dengan Inkarnasi…adalah Yesus, Putra Allah
yang menjadi manusia. Di dalam Ia jalan akan Wahyu Allah yang dimulai dengan
panggilan kepada Abraham dipenuhi, Ia adalah kepenuhan Wahyu ini karena Ia
adalah Putra Allah, Ia adaaah “perantara dan kepenuhan semua Wahyu…Yesus
menunjukkan kita wajah Allah dan mengajarkan kita nama Allah dalam doa imam
pada Perjanjian Terakhir, Ia berkata kepada Bapa :”Aku telah menyatakan nama-Mu
pada manusia…Aku membuat namamu dikenal oleh mereka””. Istilah “nama Allah”
berarti Allah sebagai Ia yang hadir diantara manusia. Allah telah menyatakan
nama-Nya kepada Musa di semak yang terbakar, untuk [dapat] dipanggil,
memberkian tanda konkret akan “keberadaan” –Nya diantara manusia. Semua ini
menemukan pemenuhannya dan kepenuhan dalam Yesus : Ia membuka cara baru
kehadiran Allah dalam sejarah, karena ia yang melihat-Nya melihat Bapa, seperti
yang dikatakanya pada Filipus (Yoh 14:9). Kekristenan – kata St. Bernard –
adalah “agama Sabda Allah”, yang bukan “sabda tertulis dan mati, tapi sabda
yang berinkarnasi dan hidup” (Hom.
super missus est, IV, 11: PL 183, 86B). Dalam tradisi patristik dan abad
pertengahan rumusan khusus digunakan untuk mengungkapkan realita ini : Yesus
adalah Verbum abbreviatum (bdk Rom 9:28, mengacu pada Yesaya
10:23), Sabda Bapa yang singkat dan hakiki, yang darinya Ia memberitahu kita
segalanya. Dalam Yesus semua perkataan hadir.
Dalam Yesus bahkan perantaraan antara Allah dan manusia dipenuhi. Di
Perjanjian Lama ada banyak tokoh yang melakukan tugas ini, khususnya Musa,
pembawa pesan, pembimbing, ‘perantara’ perjanjian, seperti yang didefinisikan
Perjanjian Baru (Gal 3:19, Kis 7:35, Yoh 1:17). Yesus, sungguh Allah sungguh
manusia, bukan hanya satu dari perantara antara Allah dan manusia, tapi “Satu
Perantara” dari Perjanjian baru dan kekal (bdk. Ibr 8:6, 9:15, 12:24),”Karena
hanya ada satu Allah – juga ada satu perantara antara Allah dan umat manusia,
Kristus Yesus, yang adalah manusia” (1 Tim 2:5, Gal 3:19-20). Dalam Yesus kita
melihat dan bertemu Bapa, dalam Ia kita diberikan keselamatan. Hasrat untuk
sungguh mengenal Allah, untuk melihat wajah-Nya di setiap manusia, bahkan
ateis. Dan kita secara sadar memiliki hasrat ini untuk melihat siapakah Ia dan
apakah Ia bagi kita. Tapi hasrat ini hanya disadari dengan mengikuti Kristus,
sehingga kita melihat punggung-Nya dan akhirnya, melihat, Allah sebagai teman,
melihat wajah-Nya dalam wajah Kristus. Penting agar kita mengikuti Kristus
tidak hanya saat kita memerlukan dan ketika kita menemukan ruang di tugas
harian kita, tapi dalam seluruh hidup kita.
Seluruh keberadaan kita harus diarahkan pada pertemuan dengan-Nya, untuk
mencintai-Nya; dan kasih terhadap sesama harus memiliki tempat utama, kasih
yang, dalam terang Salib, memampukan kita mengenali wajah Yesus dalam orang
miskin, lemah dan menderita. Ini hanya mungkin bila wajah Yesus yang sebenarnya
telah menjadi familiar bagi kita dalam mendengarkan Sabda-Nya, dan khususnya
dalam misteri Ekaristi…Bagi kita, Ekaristi adalah sekolah agung dimana kita
belajar melihat wajah Allah, dimana kita masuk ke dalam hubungan intim
dengan-Nya dan pada saat yang sama mengarahkan pandangan kita pada momen akhir
dari sejarah, ketika Ia akan memenuhi kita dengan terang wajah-Nya. Di bumi
kita berjalan menuju kepenuhan ini, dalam pengharapan sukacita akan kedatangan
Kerajaan Allah.
SUMBER ; http://luxveritatis7.wordpress.com
2 komentar:
Waaaaaah mantap banget.
Agama kristen adalah tempat para orang sinting dan para orang gila yg hidup penuh celaka loh.
Menurut cerita
rekayasa agama kristen
Jika makan buah bisa sangkut didada dan timbul kanker dua buah loh.
MANTAP BANGET.
semua umat kristen itu ternyata sinting gila dan hidup penuh celaka.
Awokawokawokawoka.
Waaaaaah mantap banget.
Agama kristen adalah tempat para orang sinting dan para orang gila yg hidup penuh celaka loh.
Menurut cerita
rekayasa agama kristen
Jika makan buah bisa sangkut didada dan timbul kanker dua buah loh.
MANTAP BANGET.
semua umat kristen itu ternyata sinting gila dan hidup penuh celaka.
Awokawokawokawoka.
Posting Komentar