BUKU
III
TUGAS
GEREJA MENGAJAR
(Kan. 747 – 833)
Berikut adalah penjelasan Kitab Hukum Gereja terkait dengan pembahasan mengenai Tugas Gereja Mengajar:
1.1.
Pengantar
Ajaran
merupakan pusat peranan dan misi Gereja:
“Karena
itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai kepada akhir zaman."
Setiap
orang dalam Gereja berpartisipasi dalam “fungsi Propetis (kenabian)” untuk
mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus ini (Kan. 204, 211) dan saling menolong
satu sama lain untuk menjadi murid-muridNya. Karena itu kanon-kanon dari buku
III ini dihubungkan dengan seluruh umat kristen karena semua harus terlibat di
dalamnya.
Lima judul dalam buku III ini
berhubungan dengan 1) Pelayan Sabda Allah, termasuk pewartaan sabda Allah dan
pendidikan kateketik 2) kegiatan misi Gereja, 3) pendidikan Katolik termasuk
sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan lembaga pendidikan tinggi Katolik
lainnya, universitas dan fakultas kegerejaan, 4) alat-alat komunikasi sosial dan 5) pengakuan iman. Tema
besar dai buku ini adalah tugas tanggung jawab berbagai macam aspek dari
seluruh misi pengajaran.
Meskipun
fungsi mengajar ditempatkan tersendiri dalam buku III, namun tidak terpisah
dari tugas menguduskan dan tugas pastoral (pengembalaan). Disini hal itu
dipisahkan karena demi kejelasan pembahasannya. Tetapi dalam hidup Gereja
mereka harus bekerja sama dalam harmoni, seperti suara dalam koor.
1.2.
Hak dan Kewajiban Gereja
dalah untuk Mewartakan Injil
Kan 747 § 1: “Kepada Gereja
dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh
Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara lebih
mendalam, mewartakan dan menjelaskannya dengan setia; Gereja mempunyai tugas
dan hak asli untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa, juga dengan alat-alat
komunikasi sosial yang dimiliki Gereja sendiri, tanpa tergantung pada kekuasaan
insani mana pun juga”.
§ 2: “Gereja berwenang untuk
selalu dan di mana-mana memaklumkan prinsip-prinsip moral, juga yang menyangkut
tata- kemasyarakatan, dan untuk membawa suatu penilaian tentang segala
hal-ikhwal insani, sejauh hak-hak asasi manusia atau keselamatan jiwa- jiwa
menuntutnya.”
Gereja ada untuk mewartakan
Injil sesuai dengan perintah Yesus Kristus. Yesus berpesan "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala
makhluk.” (Mrk 16:15). Tugas
mengajar sebagaimana tertulis dalam kanon 747 ini adalah hak dan kewajiban semua orang kristen. Kanon ini mengemakan kembali
KV II yakni LG 12, DV 7 -10, DH 13. yang merupakan latar belakang kanon 747 §
1. Seluruh Gereja, umat Allah adalah subjek
yang aktif dalam tugas mengajar ini. Bukan hanya tugas kaum tertahbis dan
teolog-teolog profesional, tetapi tugas seluruh umat beriman. Untuk melakukan
tugas ini Gereja disertai dan dibimbing terus menerus oleh Roh Kudus. Seluruh Gereja secara dinamis, menjaga kebenaran
pewahyuan Allah, menyelidikinya, dan dengan penuh iman mewartakan dan
menjelaskannya. Atas perintah Tuhan, Gereja menyatakan sebagai haknya untuk
mewartakan Injil kepada segala bangsa tanpa tergantung pada kekuasan manusiawi
manapun.
Kan 747 § 2 mengkhususkan
pengajaran Gereja dalam soal moral dan
tata kemasyarakatan. Hal ini akan dimengerti dalam DH 14 dan GS 76. memang
misi utama Gereja adalah dalam soal-soal religius, bukan dalam bidang politik,
sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Tetapi nilai-nilai religius dapat
menguatkan komunitas manusia (GS 42). Gereja juga menyuarakan prinsip-prinsip
moral, bahkan dalam isu-isu sosial. Gereja juga dapat menjatuhkan penilaian
jika hak-hak asasi dasar dan keselamatan jiwa menuntutnya (GS 76). Dalam Ajaran
Sosial Gereja, Gereka Katolik banyak bersuara untuk kaum buruh yang tertindas,
kaum yang terpingirkan dan mengalami ketidak-adilan, upah yang minim; kritik
atas kapitalisme; soal-soal KB buatan; dsb. Ini semua adalah ajaran Gereja
dalam bidang moral dan tata kemasyarakatan.
1.3.
Hak dan kewajiban untuk
mencari kebenaran dan memeluknya.
§ 2: Tak seorang pun boleh
memaksa orang untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya”
Gereja menuntut setiap
pribadi menggunakan penilaian dan kebebasannya untuk membuat keputusan. Mereka
bebas untuk mendasarkan tindaka-tindakannya pada kesadaran mereka (keputusan
hati nurani) dan tidak ditekan baik dari dalam maupun dari luar.
Mereka memiliki kewajiban
moral untuk mencari kebenaran,
khususnya kebenaran iman tentang Tuhan dan GerejaNya. Kalau kebenaran itu
diketahui mereka wajib memeluk
kebenaran itu dan menjadi pedoman
yang mengatur hidup mereka. Sehubungan dengan hal ini, dengan jelas dikatakan
bahwa tak seorangpun boleh dipaksa untuk memeluk iman katolik atau masalah iman
lainnya, yang bertentangan dengan hati nuraninya. Kanon ini menyurakan DH 1-3
yang merupakan dasarnya. Paragraf pertama menyatakan dua kewajiban yang
berbeda: 1) mencari kebenaran tentang Allah dan Gereja-Nya; 2) mengakui
kebenaran itu, berpegang teguh padanya dan hidup berdasarkan kebenaran itu.
Keduanya merupakan hak setiap orang.
Secara prinsipil kewajiban
dan kebebasan untuk mencari kebenaran-kebenaran iman adalah sesuatu yang mencakup
hidup gereja, karena hal itu tidak hanya didasarkan pada martabat pribadi
manusia, tetapi juga pada kebebasan hakiki tindakan iman. “tindakan iman adalah kehendak alami” (DH 10).
Paragraf kedua mengajarkan
batas luar dari kekebasan religius yakni tak ada paksaan. Bukan hanya bujukan
dari dalam yang dihindari, tetapi Gereja harus menunjukkan dirinya sendiri
sebagai komunitas yang menarik yang di dalamnya kebebasan beragama dihargai. Secara tegas dihindari pemaksaan terhadap seseorang, atau membujuk
mereka dengan cara tak pantas memikat mereka masuk dalam Gereja (Katolik).
Seluruh orang kristen harus sadar bahwa hak untuk kebebasan beragama dimurnikan
sehingga tak seorangpun dikeluarkan dari Gereja karena gangguan yang merugikan
ini.
1.4.
Infalibilitas Paus dan
Kolegial Para Uskup
Kan 749 § 1: “Berdasarkan jabatannya
Paus memiliki ketidak-dapat-sesatan (infallibilitas) dalam Magisterium, apabila
selaku Gembala dan Pengajar tertinggi seluruh kaum beriman, yang bertugas untuk
meneguhkan iman saudara-saudaranya, memaklumkan secara definitif bahwa suatu
ajaran di bidang iman atau di bidang moral harus diterima.”
§ 2: “Ketidak-dapat-sesatan
dalam Magisterium dimiliki pula oleh Kolegium para Uskup, apabila para Uskup,
tergabung dalam Konsili Ekumenis, melaksanakan tugas mengajar dan selaku
pengajar dan hakim iman dan moral, menetapkan bagi seluruh Gereja bahwa suatu
ajaran di bidang iman atau moral harus diterima secara definitif; ataupun
apabila mereka, tersebar di seluruh dunia, namun memelihara ikatan persekutuan
antara mereka dan dengan pengganti Petrus, mengajarkan secara otentik, bersama
dengan Uskup Roma itu, sesuatu dari iman atau dari moral dan mereka seia-sekata
bahwa ajaran itu harus diterima secara definitif.”
§ 3: “Tiada satu ajaran pun
dianggap sudah ditetapkan secara tak-dapat-sesat, kecuali hal itu nyata dengan
pasti.”
Infalibilitas (ketidak-dapat-sesatan) merupakan
ajaran paus dan para uskup dalam kesatuan dengan paus. Infalibilitas ini berkaitan
dengan Gereja sendiri yang adalah tubuh mistik Kristus. Kristus senantiasa
hadir melalui Roh Kudus dan
membimbing Gereja dan para pemimpinnya (I Yoh 2:20 , 27; LG 12). Namun ajaran infalibilitas sangat jarang
dipakai oleh paus, maupun para uskup dalam kesatuan dengan paus.
Ajaran paus dan para uskup
seperti ensiklik, eksortasi, surat ,
amanat, homili, tidak termasuk ajaran infalibilitas. Paus jarang sekali
menetapkan ajaran infalibilitas sepanjang sejarahnya. Jika kolegium para uskup
mengajar secara khusus seperti yang dilakukan dalam Konsili Vatikan itu tidak
dilakukan dalam kuasa infalibilitas.
Ajaran infalibilitas sudah
lama berakar dalam sejarah Gereja. Tetapi kesungguhan artikulasinya baru pada
akhir pengantian Konsili Vatikan pertama (1870). Kanon ini harus ditafsirkan
berdasarkan LG 25. Jika kolegium para uskup hendak menyatakan ajaran
infalibilitas baik di dalam atau di luar konsili ekumenis, mereka biasanya
menyatakannya dengan tegas dan eksplisit. Ajaran itu harus diakui dan dipegang
oleh seluruh Gereja.
Paragraf ketiga barang kali
sangat penting secara kanonik. Kecuali jika suatu ajaran secara jelas dibangun
sebagai ajaran infalibilitas,
1.5.
Perkara-perkara Iman dan Perkara-perkara
yang Dihubungankan dengan Iman
Kan 750 §1: “Dengan sikap iman ilahi dan
katolik harus diimani semuanya yang terkandung dalam sabda Allah, yang ditulis
atau yang ditradisikan, yaitu dalam khazanah iman yang satu yang dipercayakan
kepada Gereja, dan sekaligus sebagai yang diwahyukan Allah dikemukakan entah
oleh Magisterium Gereja secara meriah, entah oleh Magisterium Gereja secara
biasa dan umum; adapun khazanah iman itu menjadi nyata dari kesepakatan
orang-orang beriman kristiani di bawah bimbingan Magisterium yang suci; maka
semua harus menghindari ajaran apapun yang bertentangan dengan itu”.
§ 2: “Dengan teguh harus juga
dipeluk dan dipertahankan semua dan setiap hal yang menyangkut ajaran iman atau
moral yang dikemukakan secara definitif oleh Magisterium Gereja, yaitu hal-hal
yang dituntut untuk menjaga tanpa cela dan menerangkan dengan setia khazanah
iman tersebut. Maka dari itu adalah melawan ajaran Gereja katolik orang yang
menolak proposisi yang harus dipegang secara definitif tersebut.”
Di antara semua yang
diajarkan oleh Gereja, apa yang harus dipercayai? Jawabannya adalah pewahyuan Allah, baik yang tertulis
dalam Kitab Suci maupun dalam Tradisi. Iman dikatakan “ilahi” karena ia merupakan jawaban
terhadap pewahyuan Allah, “katolik”
karena ia dimaksudkan oleh Gereja sebagai pewahyuan ilahi. Hal ini telah
diajarkan dalam LG 25, DV 10.
Suatu yang penting dalam
paragraf ini adalah kata “harus diimani.”
Seluruh umat beriman kristiani adalah pelaksana ajaran yang berasal dari
magisterium biasa dan universal. Rasa iman (sense
of faith) umat Allah dibangkitkan dan digemakan oleh Roh kebenaran, agar
dapat menerima Sabda Allah dan mengimaninya (LG 12). Roh Kudus memprakarsai
interrelasi antara Sabda Suci Allah dan iman umat Allah yang kudus (DV 10).
Paragraf ini juga mengingatkan setiap orang percaya untuk menghindari semua
ajaran yang bertentangan dengan semua isi ajaran iman.
Paragraf kedua dari kanon
ini mengacu pada kebenaran yang tidak berasal dari wahyu tetapi berhubungan
secara historis dan logis dengan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Kebenaran-kebenaran
yang dimaksud adalah kebenaran-kebenaran yang secara definitif ditetapkan oleh
kuasa mengajar Gereja (magisterium). Ajaran-ajaran yang dikemukakan secara
definitif oleh magisterium ini harus dipeluk dan dipertahankan (kan 833, LG 25).
Ajaran-ajaran yang
dikemukakan secara definitif ditetapkan oleh paus atau oleh konsili ekumenis,
atau oleh ajaran infalibilitas dari magisterium biasa dan universal yang secara
definitif harus dipeluk. (LG 25).
Pribadi yang sejara tegas
menolak ajaran-ajaran semacam ini dan tidak menarik kembali penolakannya
setelah diingatkan oleh paus dan pejabata Gereja biasa akan dikenai hukuman
sesuai dengan kan
1371 § 1.
1.6.
Bidaah (heresy), Kemurtadan
(Apostasia), dan Skisma (schisma)
Kanon ini merupakan
definisi dari bidaah, kemurtadan, dam skisma. Konteks Konsili Vatikan adalah
reformasi protestan yang menyebabkan kekacauan dan perpecahan dalam Gereja pada
abad awal abad 19. Konteks sekarang adalah mencari kesatuan kembali yang
disebut gerakan ekumenis. Konsep bidaah, kemurtadan, skisma harus dilihat
berdasarkan cara pandang kesatuan (komunio) itu. Beberapa unsur dari hal ini
diuraikan secara detail dalam LG 14 dan UR
3. Orang-orang kristen disatukan lebih baik lewat faktor karya cinta kasih
(karitas), dari pada pengakuan ajaran bersama. Dialog yang lebih menyatukan
adalah kerja sama dalam karya amal dari pada dialog tentang ajaran. Sebab
Gereja-gereja Kristen terpecah karena perbedaan ajaran.
Sesungguhnya istilah
bidaah, kemurtadan dan skisma bukan berarti orang yang lahir dan dibabtis di
luar persekutuan Gereja katolik. Rumusan itu hanya ditujukan untuk orang-orang
katolik, yang dibabtis dalam Gereja Katolik dan diterima di dalamnya (UR 3; ED 19-20) tetapi
menolak apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik.
Bidaah, kemurtadan, dan
skisma dipandang sebagai kubur penyangkalan melawan kebenaran yang diwahyukan
dan kesatuan Gereja, secara khusus dalam Gereja yang serius menekankan ajaran
dan kesatuan seperti Gereja Katolik. Karena akibat yang mungkin dari tindakan-tindakan
ini sangat drastis. Tetapi istilah-istilah bidaah, murtad, skisma harus
dimengerti dengan benar dan diterapkan secara sempit.
Bidaah, kemurtadan dan
skisma adalah orang yang melawan atau menyerang ajaran Gereja secara sadar dan
sengaja. Jika unsur-unsur serangan ini dibenarkan, maka unsur-unsur ini dapat
membuat orang kehilangan tugas mengajar dalam Gereja (c,194 $1,2), dikeluarkan
dari suatu komunitas religius (c,694$ 1,1), dibebaskan dari tugas-tugas suci
(c, 1041$2) , dikeluarkan dari status klerikal (c 1364, $2), diekskomunikasi (c
1364$1), dan bahkan tidak dapat dikuburkan dalam ritus kematian gerejawi (c
1184, $ 1,1).
Bidaah adalah suatu penyangkalan dan keraguan terhadap suatu kebenaran yang harus diimani dengan iman
ilahi dan katolik. Tetapi kejahatan bidaah hanya diwujudkan pada kebenaran
dalam arti sempit yakni menyangkal kebenaran-kebenaran iman yang diwahyukan seperti inkarnasi dan kebangkitan
Tuhan (bdk. 750 §1), bukan kebenaran-kebenaran moral seperti anti KB buatan,
dsb (kan 750
§ 2).
Penyangkalan dan
penyangsian yang sesungguhnya yang mendapat hukuman adalah penyangkalan yang
diambil dengan penuh pengetahuan, kehendak bebas dan kesadaran bahwa
penyangkalan dan keraguan itu bertentangan dengan iman ilahi dan katolik.
Pengkalan itu dipertahankan dengan teguh dan tak mau berubah walau setelah
diadakan refleksi, permenungan, dialong dan usaha berdamai. Jadi orang baru dikatakan bidaah bila dengan
tahu dan sadar melawan inti ajaran iman Kristen.
Kemurtadan adalah penolakan
seluruhnya terhadap iman kristen (bukan hanya katolik) yang dilakukan dengan
penuh kesadaran, pengetahuan dan kehendak bebas.
Skisma lebih dari sekedar
penolakan terhadap kesatuan (komunio). Penolakan itu merupakan penolakan
komunio yang teguh dan gigih. Penolakan atas kesatuan itu diuraikan dalam kan 209, 205, misalnya
pemilikan Roh Kudus dan hidup berahmat (LG 14, 15, UR 3). Skisma pada umumnya diterapkan oleh
Gereja Katolik untuk mereka yang tidak mengakui kepemimpinan Paus sebagai
penganti Rasul Petrus.
1.7.
Ajaran-ajaran Paus dan Kolegium
Para Uskup
Kan 752 - Memang bukan persetujuan
iman, melainkan ketaatan (obsequium)
religius dari budi dan kehendak yang harus diberikan terhadap ajaran yang
dinyatakan atau oleh Paus atau oleh Kolegium para Uskup mengenai iman atau
moral, bila mereka menjalankan tugas mengajar yang otentik, meskipun tidak
bermaksud untuk memaklumkannya secara definitif; maka umat beriman kristiani
hendaknya berusaha menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran itu”.
Ajaran-yang yang dimaskud
dalam kanon ini adalah bukan ajaran yang definitif. Ajaran-ajaran tersebut
mencakup ensiklik-ensiklik kepausan, surat-surat, dan konstitusi-konstitusi
seperti halnya dokumen-dokumen konsili ekumenis. Terhadap ajaran-ajaran
tersebut umat kristen harus memberikan kepatuhan religius dari budi dan
kehendak. (bdk juga dengan Kan. 748 dan 218).
Kanon lainnya yang hampir
sama temanya adalah kan . 753 umat beriman harus memberikan kepatuhan religius terhadap pengajar
otentik gereja seperti para uskup baik sendiri, maupun bersama seperti konfrensi
wali gereja, dll. Kan 754 menetapkan bahwa umat beriman
wajib menepati konstitusi-konstitusi
dan dekrit-dekrit yang ditetapkan oleh kuasa gereja yang sah (Paus dan para
uskup).
1.8.
Gerakan Ekumenis
Kan 755 § 1.- Seluruh Kolegium para
Uskup dan Takhta Apostolik mempunyai tugas utama untuk memajukan dan membimbing
gerakan ekumenis di kalangan umat
katolik, yang tujuannya ialah pemulihan kesatuan antara semua orang kristiani
yang menurut kehendak Kristus harus diperjuangkan oleh Gereja.
§ 2 - Demikian pula para Uskup dan, menurut
norma hukum, konferensi para Uskup, wajib memperjuangkan
kesatuan tersebut dan, sesuai dengan bermacam-macam kebutuhan atau
kesempatan, wajib memberikan norma-norma praktis dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tertinggi Gereja.
Karena
perbedaan ajaran dari masing-masing anggotanya, Gereja Kristus terpecah. Ini
adalah akibat dari macam-macam ajaran dan penafsiran. Tetapi komitmen Gereja
Katolik adalah menyatukan kembali Gereja Kristus yang terpecah belah ini.
Gereja Katolik mengembangkan gerakan ekumenis agak terlambat, tetapi dilakukan
dengan komitmen dan entusiasme. Dekrit tentang ekumenisme dalam Konsili Vatikan
II adalah terobosan yang dramatis. Ini adalah tanda gerakan serius Gereja ke
arah kesatuan umat Kristen. Kanon
ini dilahirkan dari dekrit (UR
4), ini adalah kapsul kanonis dari komitmen Gereja. Kata-kata yang digunakan
adalah “memajukan … gerakan ekumenis”
dan “mempromosikan…pemulihan kesatuan di
antara seluruh umat kristen.” Mengapa demikian? Karena kesatuan itu adalah
kehendak Kristus (Yoh 17:21 ).
Gerakan ini harus diwujudkan dalam berbagai kesempatan oleh semua umat beriman
kristen, misalnya dalam proyek bersama seperti pekerjaan dari keadilan sosial,
amal kasih, membela hak-hak manusia, dan gerakan perdamaian. (lih. Juga Kan 11,
204 – 205, 256 § 1, 364 6, 383 §3, 463 §3, 844 § 2, 933, 1124-1129, 1183 § 3
semuanya dihubungkan dengan ekumenisme).
DEO GRATIA.........