Ads 468x60px

.

Pages

Subscribe:

Labels

Selasa, 31 Juli 2012

PERKAWINAN CAMPUR GEREJA KATOLIK


PERKAWINAN CAMPUR

Seorang bapak, aktvis paroki dan Gereja pernah datang kepada saya menceritakan kebingungan yang dialami bersama istrinya tentang anak putrinya yang akan menikah namun tidak dengan pemuda yang seiman. Sejak dari awal mereka sebagai orang tua tidak menyetujui adanya hubungan itu. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan anaknya itu akan ‘memalukan’ mereka sebagai aktivis Gereja. “Masak aktivis Gereja kok anaknya menikah dengan yang beragama lain”. Demikian pergulatan mereka. Tetapi semakin dilarang, semakin nekat pula putrinya tersebut. Maka dalam kebingungan bapa ini datang dan menceritakan persoalan ini. Lantas bagaimna permasalahan ini dilihat dalam terang hukum Gereja dan iman kita?

I. “KAWIN CAMPUR”: APA ITU?

Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan yang ideal adalah antara orang yang seiman yakni antara orang Katolik dengan orang Katolik. Meski demikian, Gereja tidak menutup mata terhadap kenyataan adanya perkawinan yang tidak seiman. Oleh karena itu saya akan menyampaikan hal-hal mengenai perkawinan campur dan bagaimana pandangan Gereja Katolik mengenai hal ini serta usaha pastoralnya.
Dalam Gereja Katolik, kita mengenal 2 macam perkawinan: yakni Perkawinan Katolik (maksudnya perkawinan antara orang Katolik dengan orang Katolik) dan Perkawinan Campur (antara orang Katolik dengan yang bukan Katolik). Fokus tulisan ini, pada Perkawinan Campur. Yang dimaksud dengan perkawainan campur adalah: Perkawinan yang dilangsungkan antara 2 orang yang berbeda. Ada 2 macam perkawinan campur yang dipahami Gereja Katolik yakni: Perkawinan campur Beda Agama dan perkawinan campur Beda Gereja.
1. Yang dimaksudkan dengan kawin campur Beda Agama adalah: Perkawinan antara seorang Katolik dan seorang bukan Katolik atau bukan Kristen (proterstan) jadi bisa dengan seorang: Islam, Hindu, Budha dll.
2. Yang dimaksudkan dengan Perkawinan campur Beda Gereja adalah: perkawinan antara seorang Katolik dan seorang yang dibaptis dalam Gereja Kristen bukan Katolik. (tentu saja yang baptisannya diakui sah oleh Gereja Katolik. K. 849)
II. BAGAIMANA SIKAP GEREJA KATOLIK?

1. Secara umum Gereja Katolik, kurang mendukung perkawinan campur ini. Sikap kurang mendukung ini bukan karena Gereja Katolik kurang menghormati agama lain. Gereja kurang mendukung karena melihat pasti ada masalah yang akan muncul berkaitan dengan perkawinan yang demikian.
2. Masalah-masalah itu antara lain:
a. Sebelum menikah: pasti ada penolakan dan ketidaksetujuan dari keluarga besar entah dari keluarga yang Katolik maupun yang tidak Katolik sebagaimana kisah diawal tulisan ini, yang mau tidak mau, akan menimbulkan tekanan psikis pada calon meskipun betapa kecilnya.
b. Menjelang menikah: akan muncul masalah mengenai cara menikah: Gereja Katolik dalam Kitab hukum kanonik, menuntut orang Katolik harus menikah secara Katolik, dihadapan Pastor dan 2 saksi. Begitupun dari agama lain tentu juga akan menutut hal yang sama, dan ini akan menimbulkan masalah tersendiri.
c. Setelah menikah : setelah hadirnya anak dalam keluarga, akan timbul masalah mengenai pembabtisan anak-anak. Belum lagi ketika hidup besama dalam keluarga soal memasang patung bunda maria dan salib dalam rumah, soal sekolah anak : disekolah katokik atau lainnya, aktif dalam kegiatan wilayah, gereja dan berbagai masalah lainnya yang menguras tenaga diantara mereka yang tidak sedikit
III. UPAYA PASTORAL :

1. Kendati Gereja mengidealkan dan menghimbau perkawinan yang seiman dalam artian yang Katolik dan Katolik dan membentuk perkawinan yang sakramental, tapi Gereja Katolik tidak menutup mata akan kenyatan bahwa memang sulit mencari jodoh yang seiman. Apalagi di Indonesia, orang Katolik itu minoritas, sehingga ketika di sekolah atau di lingkungan kerja pasti orang Katolik akan bertemu dan berelasi dengan yang tidak seiman. Tambah lagi kurangnya kegiatan orang muda Katolik dalam Gereja atau paroki. Karena sering bertemu dengan yang tidak seiman maka lambat laun cinta tumbuh karena kedekatan dan kebersamaan. Lebih celaka lagi bila ada yang berprinsip dari pada jadi perawan tua atau perjaka tua ya siapapun yang datang langsung disambar.
2. Dalam situasi ini bagaimana orang tua Katolik mesti bersikap?
a. Sebagai orang tua sebaiknya pertama-tama, berusaha mencegah perkawinan campur ini baik beda gereja maupun beda agama.
b. Kalau memang mereka tidak bisa dipisahkan lagi Entah karena ancaman anak atau MBA (Married By Accident= sudah hamil), sebaiknya orang tua berusaha agar anaknya menikah secara Katolik, artinya pernikahan itu berlangsung di Gereja Katolik dan di hadapan seorang pastor.
c. Jika ini sulit untuk yang beda Gereja bisa dilakukan secara ekumenis artinya bersama-sama antara pastor dan pendeta asal janji nikah ditanyakan pastor.
d. Bila pernikahan itu sudah terlanjur dilaksanakan tidak secara Katolik, maka sebaiknya orang tua atau siapapun yang kenal berusaha agar pasangan tersebut bersedia memperbaharui janji nikah mereka di hadapan pastor, agar perkawinan itu menjadi sah menurut hukum Gereja Katolik. Catatan usaha ini bisa dilakukan setelah melihat bahwa perkawinan itu kemungkinan besar akan bertahan seumur hidup sebagaimana sifat hakiki perkawinan Gereja Katolik yang salah satunya adalah tak terceraikan (Indissolubilitas). Selama perkawinan belum dibereskan secara Katolik, pasangan tersebut belum boleh menerima komuni suci. Alasannya adalah: bahwa status dan kondisi hidup mereka secara obyektif bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya, yang dilambangkan dan diwujudkan oleh Ekaristi.
3. Prosesnya
a. Bertemulah dengan Pastor di paroki tempat anda berada, dari sana akan diberitahu apa yang mesti dilakukan. Tentu saja dalam menangani kasus ini mesti diupayakan ijin dari uskup untuk yang perkawinan campur beda Gereja dan Harus ada dispensasi dari Uskup untuk Perkawinan campur beda Agama. Syarat untuk mendapatkan ijin atau Dispensasi dari bapa uskup adalah,
b. Surat permohonan untuk mendapatkan ijin atau dispensasi dari Uskup oleh Pastor yang menangani
c. Status bebas pihak non Katolik
d. Janji pihak Katolik bahwa perkawinan ini tidak membahayakan imannnya (artinya dia akan tetap setia pada Iman Katolik)
e. Dia akan berusaha sekuat tenaga mendidik anak-anaknya secara Katolik
f. Janji ini diketahui dan ditandatangani pihak tidak Katolik.
Daftar Pustaka
1. Al. Purwo Hadiwardoyo, MSF: Menuju Keluarga Bahagia, Pustaka Nusatama 2007

2. Cosmas Tukan, Manuscript Bahan Persiapan Kursus Perkawinan Katolik-Sampit
3. Kitab Hukum Kanonik (CIC)
4. FX. Didik Bagiyowinadi, Pr. Bergandengan Tangan Menuju Altar, Pustaka Nusatama, 2006
Sumber: Cosmas Tukan MSF


0 komentar:

Posting Komentar