Udang-undang perkawinan Gerejawi dalam konteks keseluruhan hukum kanonik.
KHK disusun berdasarkan latar belakang dan konsep teologis tertentu yang dimaksudkan sebagai konkretisasi dan oprasionalisasi nilai-nilai insani yang telah diperbaharui KV II.
Bagian-bagian utama menurut pola tritugas Kristus dan lima tugas Gereja. Gagasan sentral KV II tentang Gereja sebagai umat Allah (KHK Buku II, LG II) diikuti dengan pengembangannya dengan Sabda (KHK Buku III, DV) dan sakramen (KHK Buku IV, SC). Jadi sestematika KHK 1983 berdasarkan konsep Tri Tugas Kristus sebagai nabi (Sabda), Imam (Sakramen), raja tidak dibahas dalam satu buku tersendiri melainkan tersebar dalam semua buku.
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Perkawinan adalah jalan hidup yang paling lazim dipilih oleh orang, tetapi juga paling banyak menimbulkan masalah. Karena itu masalah perkawinan mendapatkan porsi besar dalam pelayanan pastoral. Perkawinan terdiri dari dua realitas: 1) bersifat privat dan intim yang menjadi urusan mereka yang langsung terlibat di dalamnya (suami-isteri); 2) tetapi juga mempunyai sisi lahiriah-sosial-publik-yuridis yang menyangkut kepentingan umum sehingga otoritas public (Gereja dan Negara) bertugas mengaturnya. Mengatur dalam arti campur tangan dalam batas-batas kewajaran. Salah satu bentuk campur tangan itu adalah undang-undang perkawinan (Gereja dan Negara) yang dimaksudkan sebagai usaha antisipatif, baik promotif-preventif, maupun kuratif-rehabilitatif demi tercapainya tujuan perkawinan. Kalau tujuan perkawinan tercapai dan keluarga menjadi baik maka masyarakat dan Gereja menjadi baik. Perkawinan adalah sel masyarakat dan Gereja.
Tempat undang-undang perkawinan dalam Hukum Kanonik 1983.
Undang-undang perkawinan diutarakan dalam buku IV yang berbicara tentang TUGAS GEREJA MENGUDUSKAN, judul VII (Kan 1055 – 1165) adalah tentang perkawinan.
Isi KHK
Isi KHK sangat majemuk. Kemajemukan ini dapat mempengaruhi intepretasi serta aplikasi kanon-kanon KHK. Kemajemukan itu nampak dalam kalimat-kalimat:
1. Dari sudut jenis/gaya sastra dan dengan demikian juga bobot daya ikat terdapat kalimat-kalimat:
Definitorris-
Deskriptif : mengariskan apa yang dimaksud
Deklaratif : mencanangkan suatu prinsip atau dalil
Perceptif : merumuskan suatu perintah
Prohibitif : memberikan suatu larangan
Ekshortatif : mengajak atau menganjurkan
Preferensial : lebih menyukai sesuatu, tetapi juga membuka
kemungkinan lain.
2. Dari sudut isi terdapat kalimat-kalimat:
Filosofis : berasal dari pemikiran tertentu
Teologis : bersumber pada data wahyu
Moral : menyangkut tanggung jawab
Yuridis : mencerminkan tradisi hukum
Cultural : berkaitan dengan budaya
FUNGSI HUKUM PERKAWINAN
Hukum bila diterapkan secara membabi buta akan menjadi penghambat kebebasan dan pemasungan hak asasi manusia. Maka dalam penerapannya para pejabat dan petugas pastoral sangat berpengaruh. Hukum perkawinan juga bisa tidak menghargai dan menjunjung intimitas, privasi dan kasih mesra pasutri. Tetapi tanpa hukum perkawinan, hak-hak dan kewajiban dalam perkawinan tak dapat dijamin.
Fungsi hukum perkawinan antara lain adalah:
a. Menjadi sarana pelancar berdasarkan pengalaman pastoral Gereja. Dengan adanya prosedur yang agak jelas dan aneka urusan ditepati maka membuat perkawinan dapat dilangsungkan dengan lancer.
b. Menjadi sarana penegak keadilan dan kedamaian, sejauh kewajiban dan hak suami-isteri dirumuskan, sejauh disediakan pegangan dan prosedur yang agak baku untuk pengambilan kebijakan dan keputusan, tanpa pandang bulu.
c. Menjadi sarana oprasionalisasi nilai-nilai teologis dan insani. Banyak nilai insani dan kristiani tak langsung dapat diwujudnyatakan dalam praktik. Hukum Gereja menjadi satu sarana oprasionalisasi: mendekatkan cita-cita, harapan, kenyataan di lapangan. Agar apa yang ada diatas kertas sungguh menjadi nyata dihayati bukan saja dihayati oleh pasutri, melainkan oleh semua orang.
PEMBAGIAN KHK BUKU VII
1. Hal-hal fundamental (paham dan dalil): kanon-kanon pendahuluan (1055-1062)
2. Reksa pastoral dan hal-hal yang harus mendahului peneguhan perekawinan. Bab I (1063-1072) demi perkawinan yang sah, subur, halal dan rohani.
3. Tiga tuntutan demi sahnya perkawinan:
· Bab II – III (1073-1094) tentang halangan menikah à bebas halangan
· Bab IV (1095-1107) tentang hambatan kesepakatan nikah (consensus) à ada consensus
· Bab V (1108-1123) tentang tata peneguhan nikah à ada tata peneguhan nikah kanonik
4. Dua jenis khusus peneguhan perkawinan
· Bab VI (1124-1129) tentang kawin campur
· Bab VII (1130-1133) tentang kawin rahasia
5. Efek-efek perkawinan bagi suami isteri dan anak
· Bab VIII (1134-1140)
6. Kemungkinan realistis
· Bab IX (1141-1155) tentang pemutusan dan pemisahan suami siteri
· Bab X (1156-1165) tentang pengesahan perkawinan
KANON-KANON PENDAHULUAN
Kanon-kanon mendasar tentang perkawinan (1055-1062)
Kanon 1055 - §1: Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka kebersamaan (consortium) seluruh hidup, yang menurut sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran (prolis generationem) dan pendidikan anak (educationem), antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
§2: Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Dalam kanon 1055 § 1 ini dinyatakan tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami isteri (bonum coniguum), kelahiran (prolis) dan pendidikan (educationem) anak. Ketiganya merupakan sasaran yang dituju. Di luar tujuan ini perkawinan menjadi suatu yang lain.
Unsur-unsur perkawinan mencakup segala sesuatu yang tercakup dalam hakikat perkawinan, termasuk sakramentalitas perkawinan.
Sifat-sifat hakiki perkawinan adalah monogam dan tak terceraikan (1056; 1101,2;1125,3). Sifat-sifat ini dikukuhkan seecara khusus atas dasar sakramen. Sifat hakiki perkawinan yang monogam dan tak terceraikan itu bukan suatu yang ditempelkan, melainkan suatu yang melekat pada perkawinan itu sendiri. Ada tiga nilai yang melekat secara hakiki pada perkawinan: nilai kesejahteraan suami isteri (bonum coniugum), nilai anak (bonum prolis),nilai kesatuan (sakramenti).
Penjelasan kanon:
Perjanjian Perkawinan (matirmonium foedus)
Perjanjian perkawinan adalah gagasan yang bersumber dari Kitab Suci baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. GS 48 menguraikan dengan lengkap gagasan ini. Sebagai perjanjian, perkawinan itu melambangkan hubungan Yahwe – Israel dan Kristus dan GerejaNya. Dalam perkawinan, Kristus yang mencintai jemaatNya, menyucikannya dan menyelamatkannya dihadirkan kembali dalam perkawinan. Dengan perjanjian perkawinan mau dikatakan bahwa Allah sendirilah pencipta perkawinan itu.
“Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan. Itu semua penting sekali bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai dan kesejahteraan keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta kasih suami-isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya. Maka dari itu pria dan wanita, yang karena janji perkawinan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antara pribadi dan kerja sama; mereka mengalami dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesra itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu.
Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beraneka ragam itu, yang berasal dari sumber ilahi cinta kasih, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab seperti dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja, melalui sakramen perkawinan menyambut suami-isteri kristiani. Selanjutnya Ia tinggal berserta mereka supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya begitu pula suami-isteri dengan saling menyerahkan diri saling mengasihi dengan kesetiaan tak kunjung henti. Kasih sejati suami-isteri ditampung dalam cinta ilahi, dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, lagi pula dibantu dan diteguhkan dalam tugas mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu]. Oleh karena itu suami-isteri kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas” (GS 48).
Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beraneka ragam itu, yang berasal dari sumber ilahi cinta kasih, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab seperti dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja, melalui sakramen perkawinan menyambut suami-isteri kristiani. Selanjutnya Ia tinggal berserta mereka supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya begitu pula suami-isteri dengan saling menyerahkan diri saling mengasihi dengan kesetiaan tak kunjung henti. Kasih sejati suami-isteri ditampung dalam cinta ilahi, dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, lagi pula dibantu dan diteguhkan dalam tugas mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu]. Oleh karena itu suami-isteri kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas” (GS 48).
Dengan hakikat perkawinan sebagai perjanjian, istilah perkawinan sebagai kontrak (yang lebih mengedepankan dimensi institusional – public – yuridis) dapat diimbangi.
Kebersamaan seluruh hidup (totius vitae consortium)
Perjanjian perkawinan itu menimbulkan kebesamaan seluruh hidup. Dipakai istilah consortium (con: bersama, shors: nasib, jadi kebersamaan senasib). Istilah ini juga dipakai dalam kanon 1096 §1 dan 1135. Namun ada persoalan dengan batasannya. Pernah dipakai kata “communion” yang lebih bernuansa akrab dan mendalam. Totus vitae atau seluruh hidup agak miskin bila diartikan sebagai “seumur hidup atau sampai mati”. Maka perlu diambil dalam arti kualitatif: hidup seutuhnya, menurut aneka aspeknya.
Dalam janji pernikahan kita dapat menemukan gambaran tentang jangkauan istilah kebersamaan seluruh hidup yang agak lengkap: “Di hadapan Allah aku menerima engkau sebagai isteriku/suamiku, aku berjanji setia padamu, dalam suka dan duka, dalam keadaan sehat dan sakit, sampai kematian memisahkan kita, aku mau mencintai engkau, menghargai dan menghormati engkau, sepanjang hidupku.”
Antara pria dan wanita
Pria dan wanita adalah dua jenis kelamin yang berbeda. Perbedaan itu dikehendaki oleh Allah sendiri untuk saling melengkapi. Relasi pria dan wanita itu adalah relasi yang saling melengkapi. Ketika seluruh penciptaan selesai Allah menilai bahhwa segala sesuatu baik adanya, namun kemudian Ia melihat bahwa “tidak baik bila manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan sorang penolong yang sepadan dengan dia (Kej 2:18). Pria dan wanita diciptakan menurut gambar Allah dan diperuntukan satu sama lain, saling membutuhkan, saling menolong, saling melengkapi, saling memperkaya. Mereka dikehendaki Allah untuk menjadi “satu danging” (Kej 2:24).
Jenis kelamin disini adalah pria dan wanita yang berbeda namun saling melengkapi. Karena itu kanon ini menolak pernikahan sejenis. Perubahan kelamin karena operasi tidak menganti kodrat seseorang.
Sifat kodrati keterarahan kepada kesejahteraan suami isteri (bonum coniugum).
Rumusan tujuan ini mengalami pembaruan bila dibanding dengan rumusan kanon 1917 yang menyebut kelahiran sebagai tujuan pertama. Tanpa bermaksud untuk menyebut secara hirarkis secara berturut-turut, istilah bonum coniugum disebut lebih dahulu.
Istilah bonum coniugum sulit diterjemahkan. Bonum sendiri berarti ringkas, seutuhnya, mendalam mengenai apapun yang baik. Terjemahan dalam bahasa Indonesia menjadi kesejahteraan suami isteri kurang cocok dan agak berkonotasi material.Selain itu istilah itu tidak dirinci: apa saja hal-hal yang harus ada supaya keadaan bonum coniugum itu dapat tercapai. Tetapi penyebutan bonum coniugum menguatkan posisi pasangan suami-isteri yang tidak mendapatkan anak atau keturunan. Dalam keadaan demikian perkawinan tetap harus dipertahankan.
Dalam paham perkawinan ini sama sekali tidak disinggung kata cinta kasih. Padahal cinta kasih merupakan gagasan pokok agam Katolik. Kata cinta kasih sudah tercantum dalam kesejahteraan suami-isteri dan kebersamaan seluruh hidup. Kata cinta kasih tidak cocok digunakan dalam bahasa hukum, karena tak dapat diukur dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sifat kodrati keterarahan kepada anak (ad prolis generationem et educationem ordinatum)
Perkawinan pada hakikatnya terbuka pada keturunan dan pendidikan anak. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan abad-abad Agustinus, melainkan tanpa hirarki, tujuan-tujuan dimaksudkan untuk mengedepankan penghargaan terhadap aspek personal perkawinan dengan lebih dahulu menyebut bonum coniugum.
Persoalan yang langsung berkaitan dengan hal ini adalah program KB. Namun keterarahan perkawinan pada keturunan dapat diterima oleh budaya kita di Indonesia. Senada dengan GS 48 “Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta kasih suami-isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya”. Tetapi kanon ini tidak bermaksud mengatakan bahwa hubungan suami-isteri (senggama) harus terarah pada keturunan, maka akan langsung bertentangan dengan bonum coniugum. Jadi pembatasan kelahiran dengan KB buatan atau alami tetap menjadi persoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Perkawinan sebagai sakramen
Perkawinan sebagai sakramen artinya bahwa perkawinan menjadi lambang hubungan Kristus dan GerejaNya. Cinta kasih Kristus kepada GerejaNya yang rela melayaninya sampai wafat di salib ditampilkan dalam relasi suami-isteri dalam perkawinan. Tetapi lebih dari itu perkawinan sebagai sakramen juga menghadirkan kembali karya keselamatan Kristus dalam perkawinan sehingga perkawinan itu diselamatkan oleh Kristus.
Dalam kanon 1055 dinyatakan bahwa perkawinan antara orang yang dibabtis diangkat ke martabat sakramen. Perkawinan baru disebut sakramen bila pria dan wanita yang menikah itu sama-sama dibabtis dalam Gereja Katolik. Jadi babtisanlah yang membuat perkawinan itu menjadi sakramen.
Pelayan sakramen dalam perkawinan Katolik bukanlah imam, melainkan mempelainya. Suami istteri adalah pelayan sakramen perkawinan mereka sendiri. Mereka saling menerimakan sakramen perkawinan. Dalam peneguhan kanonik yang perlu untuk keabsahan perkawinan orang katolik, imam bersama para saksim lebih berperan sebagai saksi.
Perkawinan sebagai kontrak
Kontrak adalah perjanjian yang lewat pernyataan kehendak yang mengikat dari pihak-pihak yang berkepentingan menghasilkan suatu hubungan yuridis:kontrak konsensual. Adapun hubungan yuridis dalam kontrak bilateral adalah kewajiban saling memberi prestasi tertentu dan hak saling mengajukan tuntutan tertentu.
Pola kontrak masih tetap dipakai baik untuk dilangsungkannya perkawinan (matrimonium in fieri), maupun untuk perkawinan sebagai status atau hubungan yuridis yang tetap (matrimonium in facto esse) sebagai akibat pengadaan kontrak itu. Dengan kontrak konsensual Gereja mengakui peran konstitutif consensus kedua belah pihak.
Ciri khas kontrak perkawinan menurut paham Gereja Katolik adalah unsur-unsur dan sifat hakiki perkawinan yang tidak termasuk kewenangan manusia artinya tak boleh diubah manusia.
Perkawinan sebagai kontrak dan sakramen ta terpisahkan. Perkawinan antara dua orang yang dibabtis dengan sendirinya adalah sakramen. Dua orang yang dibabtis tak dapat mengadakan kontrak perkawinan dengan sah jika dengan tindakan positif mereka (atau satu pihak) menolak memberi dan/atau menerima. Tak ada kontrak konsensual, tak ada perkawinan. Jadi kontrak konsensual adalah unsur konstittutif perkawinan.
Sifat-sifat hakiki perkawinan.
Kanon 1056: sifat hakiki perkawinan adalah menogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan karena sakramen.
Sifat hakiki perkawinan adalah monogam dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan termasuk paham perkawinan katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawinan kedua tidak sah, meskipun perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut agama lain, karena Gereja katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami isteri yang telah berceai ituu masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikan itu terjadi maka dimata gereja terjadi poligami suksesif.
Monogamy
Monogamy adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. monogamy bertentangan dengan poligami atau poliandri.
Monogamy mengesampingkan pilogami simultan. Monogamy menuntut perkawinan hanya dengan satu jodoh pada waktu yang sama. Monogamy juga mengesampingkan poligami suksesif (berturut-turut kawin cerai). Dalam monogamy hany perkawinan pertama yang dianggap sah, perkawinan berikutnya tidak sah. Konsekuensi lain adalah larangan hubungan intim dengan orang ketiga (selingkuh).
Dasar monogamy
Dasar monogamy dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tida taranya. Pria dan wanita saling menyerahkan dan menerima diri dalam cinta kasih total tanpa syarat dan cecara ekslusif. Dalam perkawinan poligami yang cendrung dilakukan oleh pria, martabat dan pribadi manusia kurang dihargai. Tidak ada kebersamaan seluruh hidup.
Sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan
Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini. Tingkat tak terputuskannya perkawinan berbeda-beda. Perkawinan mutlah tak terceraikan bila perkawinan itu ratum et consumatum (sah dan disempurnakan dengan senggama). Sifat tak terceraikan itu tidak mutlak berdasarkan kanon 1143-1149.
Sifat tak terceraikannya perkawinan itu berlaku secara intrinsic (tak tergantung kemauan pasutri) dan bersifat ekstrinsik (dari luar; oleh kuasa manapun).
Kesesatan mengenai sifat hakiki perkawinan tidak membuat perkawinan itu tidak sah, tetapi sifat hakiki ini juga menjadi objek consensus perkawinan (kan. 1099).
Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi partial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah.
Barangsiapa bercerai tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah karena masih terkait perkawinan sebelumnya.
Dasar sifat tak terceraikannya perkawinan
· Dalam Kitab Suci:
Misalnya: Mrk 10:2-12; Mat 5:31-32; 19:2-12; Luk 6:18
· Ajaran Gereja
Konsili Vatikan II (GS 48)
FC 20
Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
· Penalaran akal sehat
Martabat manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami isteri: terutama isteri dan anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argument ini tak dapat membuktikan secara mutlak, tanpa kekecualian.
Peran dan paham consensus
Kan 1057 - §1: perkawinan terjadi karena consensus yang dinyatakan dengan sah antara orang-orang yang menurut hukum mampu, consensus itu tak dapat diganti oleh kuasa manusia mana pun.
Factor apakah yang membuat perkawinan menjadi perkawinan, consensus ataukah sengama? Paus Alexander III menjawab: consensus, tetapi baru setelah terjadi konsumsi, perkawinan antara orang-orang yang dibaptis mutlak tak terputuskan (lih. Juga KHK bab IV kan. 10951107 dengan judul “consensus”). Konsensuslah yang menimbulkan ikatan perkawinan. Dengan meningkatnya paham persolan perkawinan, makin teguhlah peran konstitutif consensus.
Konsensus dan peran tak tergantikan dalam consensus.
Peran consensus itu tak tergantikan oleh kuasa manusia apa pun.
· Hal ini perlu diingat dimana peran keluarga dalam perkawina begitu besar.
· Orang yang telah menjanjikan perkawinan (dengan pacaran, pertunangan), memperkosa atau menghamili, tidak dapat dituntut “bertanggung jawab” dalam arti menikahi kalau ia tidak mempunyai consensus (tidak mau).
· Orang mempunyai kebebasan memilik status hidup (menikah atau tidak) dan menikah dengan siapa.
· Motivasi apapun tak dapat membenarkan paksaan untuk menikah dan menikah dengan siapa. Peran consensus begitu besar dan tak tergantikan, sehingga kalau perkawinan dipaksakan, kelihatannya memang terjadi perkawinan, dan presumsii hukum memang melindungi lembaga perkawinan (kan. 1060) tetapi sebenarnya tidak timbul ikatan perkawinan, sihingga dapat digugat, diperiksa dan bila terbukti, dinyatakan dengan putusan pengadilan bahwa consensus itu sedemikian cacat sehingga perkawinan menjadi tidak sah.
Persyarattan terjadinya consensus
- Consensus bisa saja ada, tetapi untuk efektif subjek consensus itu harus juga “secara yuridis mampu”, artinya: menurut hukum memang tidak terhalang (bdk. kan 1073 -1094) tentang halangan-halangan nikah. Justru karena paham perkawinan itu begitu tinggi (bdk. Kan. 1055 – 1056) dan akibat-akibat perkawina begitu berat (bdk kanon 1134-1136), perkawinan dan calon pengantin dilindungi dengan persyaratan consensus yang tinggi pula.
- Consensus tidak hanya disimpan dalam hati (batin), melainkan juga harus diungkapkan menurut format tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku, bagi orang katolik: tata peneguhan kanonik (kan. 1108).
Paham consensus
Kan 1057 - §2. Consensus perkawinan ialah tindakan kehendak pria dan wanita yang dengan perjanjian yang tak dapat dicabut kembali saling menyerahkan dan menerima diri untuk membentuk perkawinan.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan paham consensus yang tak tergantikan itu? KHK 1983 lebih tegas mengedepankan aspek personal manusia seutuhnya dan hidup perkawinan (bukan prokreasi). Keputusan pribadi yang tahu, mau dan bebas. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran skolastik. Dalam pepatah “Nil volitum nisi praecognitum” (tak kenal, tak sayang) terlihat dua kemampuan manusia: pengetahuan dan kemauan. KHK bab IV tentang hambatan-hambatan consensus yang berkisar pada pengetahuan dan kemauan (termasuk juga kemampuan, bdk. Kan. 1095 no. 30 sesuai dengan pola tahu-mau.
Tindakan kehendak (actus voluntis)
Bukan hanya perasaan, bahkan perasaan ketertarikan dan cinta yang diutamakan. Meskipun perasaan dapat menjadi indicator ada tidaknya tindakan kehendak. Dalam alam pemikiran skolastik kemauan “didahului” pengetahuan.
Kehendak merupakan kemampuan (belum aktualisasinya berupa tindakan) yang terarah pada tindakan yang dianggapnya baik. Diandaikan bahwa kehenda ini bebas artinya dapat memilih ya dan tidak serta dapat memilih ini dan itu.
Tindakan disini adalah aktualisasi kemampuan kehendak berupa keputusan memilih dari beberapa opsi (kemungkinan).
Objek (isi) consensus
Apa yang menjadi sasaran atau yang dikejar oleh kehendak? Dalam hal ini, yang menjadi objek kehendak adalah saling menerima dan menyerahkan diri (personal) untuk membentuk perkawinan. Jadi isi consensus adalah penyerahann diri dan perkawinan.
Penyerahan dan penerimaan diri timbal balik
Dalam kanon ini yang diserahkan dan diterima adalah diri yang bersifat personal dan menyeluruh bukan hanya suatu dari pribadi itu. Hal ini sesuai dengan visi personal pada perkawinan (GS 49). Focus isi consensus diserahkan kepada pribadi.
Dengan perjanjian yang tak dapat dicabut kembali. Di sini ditegaskan bahwa penyerahan dan penerimaan diri timbal balik itu terjadi dengan perjanjian (istilah yang biblis-teologis). “tak dapat dicabut kembali” menyangkut sifat definitive yang berkaitan dengan sifat-sifat hakiki perkawinan (kan. 1056; 1100 – 1101).
Antara pria dan wanita
Consensus itu dibuat oleh mereka yang akan menikah, yakni pria dan wanita. Jadi pernikahan itu adalah perkawinan antara pria dan wanita, bukan pernikahan sejenis. Hal ini sesuai dengan kan. 1055.
Yang mampu menurut hukum
Ini memang pembatasan hak seseorang untuk menikah. Tetapi hal ini dibuat demi kepentingan umum, baik yang berkaitan dengan paham perkawinan sendiri, maupun dabgi mereka yang akan menikah. Dalam KHK ada isitilah leges iritantes (kemampuan atau ketidakmampuan menyangkut perbuatannya) dan leges inhabilitantes (kemampuan dan ketidakmampuan menyangkut orangnya). Sehubungan dengan consensus kita berhadapan dengan orangnya.
Untuk membentuk perkawinan
Untuk apa consensus itu atau penyerahan dan penerimaan diri timbale balik itu? Jawabannya adalah untuk membentuk perkawinan.
Hak untuk menikah (Kan. 1058)
Kan. 1058 – semua orang yang tidak dilarang hukum dapat melangsungkan perkawinan.
Hak untuk menikah termasuk hak asasi yang lebih mendasar dan lebih luas, yakni memilih status hidup. Hal ini dengan jelas dikatakan dalam:
- Piagam hak-hak keluarga Tahta Suci 22 oktober 1983, art. 1: “semua orang mempunyai hak dengan bebas memilih status hidup dan dengan demikian menikah serta membangun keluarga atau membujang.”
- UUD RI 45 dan perubahan pasalnya 28B: “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
- Dalam deklarasi HAM PBB 10 desember 1048.
Jadi setiap pria dan wanita yang telah mencapai usia nikah dan memenuhi persyaratanyang perlu mempunyai hak tanpa diskriminasi apapun untuk menikah dan membentuk keluarga. Jadi siapapun tak berhak melarang termasuk keluarga dari mereka yang akan menikah. Kalau ada larangan untuk menikah dari orang-orang tertentu itu demi kepentingan umum, termasuk kepentingan mereka yang bersangkutan.
Perlindungan hukum Perkawinan sebagai Lembaga.
Kan. 1060 – Perkawinan menikmati perlindungan hukum; karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan keabsahan perkawinan , sampai terbukti kebalikannya.
Jika dalam perkawinan salah satu pihak yakin bahwa perkawinannya tidak sah (berdasarkan presumsi, keyakinan sebelum pembuktian) tetapi tidak dapat membuktikannya maka perkawinan harus tetap dipertahankan. Inilah yang dimaksud perlindungan perkawinan oleh hukum (favor iuris) perkawinan. Jadi lembaga perkawinan tetap harus dipertahankan sampai bukti perkawinan itu tidak sah dapat dikemukakan. Hukum ini mencegah dan melindungi perkawinan dari godaan dan subjektivisme serta gugatan sewaktu-waktu. Memang hukum ini mempunyai efek yang merugikan pribadi yang meskipun yakin bahwa perkawinannya tidak sah, namun tak dapat membuktikannya tetap harus mempertahankan perkawinan sehingga tetap terikat dan tak dapat melaksanakan haknya untuk menikah lagi.
Presumsi akan kalah kebenaran yang terbuktikan. Perkara pemutusan ikatan perkawinan terhadap perkawinan yang tidak sah diurus oleh Tribunal keuskupan.
Kategori perkawinan
Kan. 1061 – perkawinan sah antara orang-orang yang dibabtis disebut sah saja (ratum tantum) tanpa konsumsi (hubungan suami isteri); sah dan dikonsumsikan (ratum et konsumatum), bila suami isteri telah melakukan tindakan suami-isteri secara manusiawi yang dari sendirinya cocok untuk membuahkan anak, perkawinan pada kodratnya terarah kepadanya, dan dengan tindakan itu suami isteri menjadi satu danging.
Ratum adalah istilah khas untuk keabsahan perkawinan antara dua orang yang dibabtis. Ratum tantum (ratum, sed non konsumatum) berarti bahwa perkawinan itu sah dan antara dua orang yang dibabtis, tetapi tidak diselesaikan dengan konsukmsi. Akibatnya tingkat tak terceraikannya tidak mutlak, dapat diputus oleh paus, bdk kan. 1142.
Matrimonium ratum et konsumatum
Konsumsi adalah “tindakan yang dari sendirinya cocok untuk mebuahkan anak” (per se aptus ad prolis generationem). Pandangan ini muncul dari biologi prokreasi yang keliru. Karena sulit menilai senggama dengan sarana kontrasepsi dan bagaimana membuktikannya.
Satu daging
Istilah satu danging berasal dari Kitab Suci (ej 2:24; Mat 19:5; Mrk 10:8; Ef 5:31)
Bahasa Ibraninya adalah “basar ekhad” mengandung gagasan: hubungan darah, persekutuan hidup, hubungan suami isteri dalam arti luas, termasuk sengama. Jadi satu daging dapat dimengerti dalam arti luas, bukan hanya hubungan seks.
Konsumasi secara manusiawi
Maksud istilah ini adalah konsumasi itu dilakukan secara suka rela dalam penyerahan diri timbal balik yang terjadi pada awal perkawinan dan diandaikan berlangsung terus dalam perkawinan; tidak diminta dengan kekerasan. Tetapi untuk membuktikan hal ini juga sulit.
Kan 1061 § 2 – bila suami isteri seteah perayaan perkawinan tinggal bersama, maka diandaikan konsumasi telah terlaksana, kecuali jika dibuktikan kebalikannya.
Dalam kanon ini presumsi (pengandaian) diberlakukan bagi konsumasi. Istilah konsumasi itu hanya untuk senggama yang dilaksanakan sesudah perkawinan, sedangkan hubungan pranikah tidak termasuk pengertian konsumasi.
Bila diandaikan setelah perayaan perkawinan suami isteri melakukan konsumasi, maka perlu bukti untuk mengulingkan presumsi itu dengan bukti belum konsumasi (inkonsumasi).
1 komentar:
Orang katolik dan Kristen
semua gila sinting dan
hidup penuh celaka.
Makan buah koc
sangkut didada.
Cerita Yesus
adalah rekayasa.
Mamak nya dientot orang.
Tak berani ngaku.
Bikinlah rekayasa
sinting dan gila..........
Posting Komentar